![]() |
Ilustrasi |
Sebagai organisasi pendukung menuju universitas riset,
kondisi UIN Jakarta Press tak terurus karena tidak termasuk dalam struktur
formal. Lantas, bagaimana cita-cita UIN Jakarta menjadi universitas berbasis
riset?
Terhitung sejak 2003, UIN Jakarta ingin bergeser dari
teaching university menjadi research university atau universitas riset. Bagi
universitas riset, kegiatan riset dan publikasi karya tulis dosen menjadi
prioritas.
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Azyumardi
Azra, me-nyatakan untuk mewujudkan UIN Jakarta menjadi universitas riset,
kampus harus mampu menerbitkan artikel ilmiah dosen baik di dalam maupun luar
negeri. Karenanya, perlu penda-naan yang lebih besar dan teratur untuk
penerbitan di UIN Jakarta.
Sama halnya Azra, Direktur Center for the Study of
Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta, Irfan Abubakar, mengungkapkan
publikasi ilmiah merupakan jendela bagi perguruan tinggi. Riset dan publikasi
ilmiah menjadi tantangan terberat UIN
Jakarta ke depan. “Makanya, UIN perlu mengevaluasi dua hal tersebut,” kata
Irfan, Rabu (1/10).
Alih-alih menjadi universitas riset, UIN Jakarta Press
sebagai organisasi pendukung malah tidak termasuk dalam struktur formal. Hal
ini, mengakibatkan UIN Jakarta Press minim staf dan karya karena tak mendapat
dana operasional. Terlihat dari jumlah terbitan yang tidak menentu di setiap tahun.
Berbeda dengan UIN Jakarta, UIN Malang memasukkan UIN
Malang Press ke dalam struktur formal. Faktor inilah yang membuat UIN Malang Press
lebih berkembang dibanding UIN Jakarta Press. Padahal, kedua universitas ini
sama-sama berstatus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Layanan Usaha (BLU).
Status dan kondisi UIN Malang Press yang berkembang
turut membantu UIN Malang mewujudkan cita-citanya menjadi universitas riset.
Tak hanya membantu, UIN Malang Press juga bisa menjadi sarana promosi akademik
yang baik. “Apalagi karya-karya dosennya dipasarkan,” tutur Abdul Halim, salah
satu staf redaksi UIN Malang Press, Jumat (26/9).
Menanggapi perbedaan itu, Direktur UIN Jakarta Press
tahun 2002-2006, Abudin Nata, mengatakan UIN Jakarta Press memang tidak
termasuk struktur formal karena pemerintah ingin membentuk lembaga yang miskin
struktur tapi kaya fungsi. “Sebab struktur akan berimplikasi pada anggaran,“
kata Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) itu, Selasa (23/9).
Namun, kata Abudin, kondisi UIN Jakarta Press yang tak
masuk dalam struktur formal bisa menghambat mimpi UIN Jakarta menuju
universitas riset. Meski bukan satu-satunya faktor, UIN Jakarta Press merupakan
lembaga yang penting untuk mendorong hal tersebut. “UIN Jakarta Press harus
dihidupkan dan mampu bekerja sama dengan penerbit dalam dan luar negeri,”
ungkapnya.
Senada dengan Abudin, Direktur UIN Jakarta Press saat
ini, Idris Thaha, mengungkapkan ketiadaan dana membuat UIN Jakarta Press tidak
beroperasi secara maksimal. Selama ini, UIN Jakarta Press hanya menjadi
jembatan antara dosen dan tempat percetakan.
Semisal pada 2013 kemarin, UIN Jakarta Press pernah
menerima dana untuk menerbitkan 30 buku ajar dari program Wakil Rektor (Warek)
I Bidang Akademik. Namun, jelas Idris, dalam program tersebut UIN Jakarta Press
hanya sebagai pelaksana dan tidak mengambil keuntungan apa pun. “Bukunya pun tidak dijual,” tambah
Idris, Rabu (17/9).
Terkait hal itu, Warek I Bidang Akademik, Mohammad
Matsna, mengatakan sejak awal UIN Jakarta Press termasuk lembaga otonom
sehingga ia tidak bisa secara langsung memberikan intervensi. Meski begitu,
pihaknya tetap berusaha mengajukan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) agar UIN Jakarta Press masuk ke
dalam struktur formal.
Keinginan serupa juga disampaikan Warek II Bidang
Administrasi Umum, Amsal Bakhtiar. Namun, sampai saat ini pihak KemenPAN-RB
belum menyetujui usulan tersebut. “Butuh pro-ses panjang dan melelahkan,”
katanya, Kamis (25/9).
Tak hanya itu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Hamid
Nasuhi, membenarkan minimnya staf di UIN Jakarta Press. “Sulit mencari staf
yang bekerja tanpa pamrih. Siapa sih yang mau bekerja tanpa gaji?” tuturnya,
Jumat (26/9).
Hamid menambahkan, dulu UIN Jakarta Press pernah
memiliki struktur staf yang jelas, namun karena tak ada kegiatan dan gaji,
struktur itu pun tidak berjalan. Saat ini, menurutnya, hanya ia dan Idris yang
aktif di UIN Jakarta Press. “Semuanya, kami yang mengerjakan mulai dari
manajerial sampai pengeditan naskah,” ungkap pria yang juga aktif sebagai
editor di UIN Jakarta Press itu.
Sementara itu, Amsal menambahkan, tidak bisa begitu
saja memberi gaji kepada pegawai yang berada di lembaga non struktural karena
aturan pemerintah yang tidak menyediakan anggaran.
“Bahaya, kalau ketahuan Badan Pengawas Keuangan
menggaji pegawai lembaga non struktural. Makanya, sampai saat ini saya sedang
mencari solusi terbaik supaya bisa menggaji mereka,” ujarnya, Kamis (25/9).
Penerbit
Kampus Lain
Menurut Abdul Halim, UIN Malang Press bisa rutin
menerbitkan 60 sampai 70 buku setiap tahun karena telah menjadi lembaga
struktural di universitas. “Penerbitan kami bersumber dari dana DIPA
universitas,” katanya ketika dihubungi via telepon.
Lebih lagi, ujar Halim, keberlangsungan UIN Malang
Press didukung dengan kebijakan Warek I Bidang Akademik yang meminta dosen
untuk menerbitkan buku di UIN Malang Press. Selain itu, mereka juga diberi keleluasaan
untuk mengikuti pameran dan melakukan pemasaran di toko-toko buku.
Erika Hidayanti