Pemilihan
Legislatif (Pileg) serta pemilihan presiden sebagai suatu hajatan besar dari
demokrasi telah usai dilangsungkan beberapa saat lalu, terpilihlah mereka 560
anggota DPR periode 2014-2019 dan pasangan
Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang dari pemilihan presiden yang telah
dilangsungkan pada pesta demokrasi terbesar di negara ini. Merekalah para
insan-insan yang terpilih untuk menjaga amanat rakyat dan membawa nasib bangsa
ini ke arah yang lebih baik lagi tentunya.
Belum sudah
dilantik pada tanggal 20 Oktober yang akan datang, presiden terpilih dan wakil
presiden terpilih Jokowi-JK mendapat sebuah tantangan besar yang akan dihadapi
pemrintahannya kelak. Belum secara resmi memimpin pemerintahan ini, mereka sudah dihadapi oleh
masalah yang sangat begitu nyata di depan mereka. Masalah itu tak lain dan tak
bukan berasal dari lawan politik yang mereka kalahkan pada pilpres kemarin,
yaitu Koalisi Merah Putih atau yang biasa di singkat “KMP”.
Koalisi Merah
Putih merupakan koalisi gabungan partai politik pendukung pasangan
Prabowo-Hatta pada pemilu presiden 9 Juli lalu yang terdiri dari partai
(Gerindra, Golkar, PPP, PAN, PKS, PBB). Koalisi yang meraih kurang lebih hampir
50% lebih parlemen atau sekitar 292 anggota parlemen merupakan anggota dewan
yang terpilih dari partai politik yang bergabung dalam koalisi merah putih
tersebut. Contoh yang paling kongkrit dari perlawanan KMP terhadap pemerintahan
Jokowi yang akan datang adalah pada hari Jumat lalu, ketika DPR berhasil
menyetujui RUU Pilkada tak langsung atau pemilihannya melalui DPRD. Hasil pengesahan ini merupakan hasil dari
pemenangan votting yang dilakukan di parlemen, yang mana koalisi merah putih
yang mendukung penuh RUU Pilkada tidak langsung meraih lebih banyak suara
dukungan ketimbang koalisi partai pendukung Jokowi-JK yang meraih suara tak
sebanyak KMP.
Setelah
berhasil menghapus pemilhan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Koalisi
Merah Putih menggulirkan wacana untuk mengembalikan pemilihan presiden kepada
Majelis Permusyawaratan Perwakilan (MPR). Ide ini kembali dicetuskan lagi oleh
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Herman Kadir yang beralasan bahwa
pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat akan memecahbelah rakyat. “Kalau
pilpres langsung hanya akan menimbulkan konflik, lebih baik di tiadakan saja”
ujar Herman kepada salah satu media elektronik.
Jika benar pada
akhirnya masalah niatan pengembalian pilpres kepada MPR yang digadang-gadang oleh Koalisi Merah
Putih ini masuk dalam sidang di parlemen nanti, sudah tentu pasti hasilnya adalah
kembali menangnya Koalisi Merah Putih dalam parlemen dan tentunya keputusannya
adalah penyetujuan kembali pemilihan
presiden yang akan diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kita akan
melihat dan merasakan seperti apa yang pernah kita rasakan sebelumnya, yaitu
dimana presiden dipilih oleh MPR yang di masa lalu justru pemilihan presiden
yang dilakukan oleh MPR inilah yang akhirnya melahirkan suatu rezim otoriter
yang menghilangkan hak-hak politik dari warga negara untuk turut berperan aktif
dalam pemilihan kepala negara. Kita tentu tidak ingin kembali megulang tidak
adanya pembatasan masa jabatan (no limitation re-election) yang pernah terjadi di praktik
ketatanegaraan Indonesia sebelum periode Soeharto. Soekarno presiden pertama
menjabat mulai tahun kemerdekaan 1945 hingga 1966, sedangkan Soeharto mulai
efektif mengambil alih kekuasaan sejak 1966 hingga 1998. Soeharto terus
terpilih kembali hingga berhenti di tahun 1998. Baru kemudian setelah
reformasi 1998, melalui Ketetapan MPR, yang kemudian dikuatkan dengan Perubahan
Pertama UUD 1945, masa jabatan Presiden dibatasi untuk maksimal dua periode
masa jabatan (only one re-election).
Parlemen pada
saat ini seperti suatu lembaga legislatif
yang jalannya akan terus tertebak dan alurnya akan tetap selalu sama,
yaitu Koalisi Merah Putih yang akan terus menang dan berlawanan arah dengan
koalisi partai poilitik yang mendukung Jokowi-JK yang ada di senayan sana.
Parlemen memang berisi orang-orang yang harus terus bersuara, namun bukanlah
suara yang hanya mementingkan kepentingan politik saja demi segelintir orang
atau kelompok, melainkan memang hanya
memperjuangkan kepentingan rakyat semata.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Semester 5