Peristiwa
politik seperti peralihan kekuasaan, hingga
pergantian pemimpin selalu disertai dengan pelbagai peristiwa mistik. Salah
satunya, menjelang Pimilihan Legislatif (Pileg), banyak partai politik yang
ziarah ke kuburan untuk mendapatkan barokah. Hal itulah yang melandasi diskusi
publik yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Syahid di
Auditorium Harun Nasution, Kamis (2/10).
Acara
diskusi ini bertujuan, agar mahasiswa dapat merasakan keresahan dan kegelisahan
yang dirasakan oleh masyarakat akibat perubahan budaya politik yang sudah tidak
rasional lagi. Hal tersebut diungkapkan oleh Fajar Shiddiq sebagai Ketua Umum
Teater Syahid.
Dalam
diskusi publik yang bertema Rasionalitas
dan Irasionalitas Budaya Politik di Indonesia, Teater Syahid mengundang
beberapa tokoh dengan latar belakang yang berbeda, yaitu Burhanuddin Muhtadi
selaku pengamat politik, Radhar Panca Dahana sebagai budayawan Indonesia, dan
Ahmad Baso, intelektual muda Nadhatul Ulama (NU).
Ahmad
Baso berpendapat, banyak sekali politikus yang berasal dari salah satu partai
di Indonesia melakukan ziarah kubur hanya untuk melancarkan urusannya di dunia
politik. Seperti, mendapatkan kursi di parlemen, menaikkan atau melanggengkan
jabatan mereka, dan lain sebagainya.
“Saat
Pileg, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melakukan ziarah ke makam
wali. Namun, setelah Pileg selesai, mereka tidak mengenal ziarah lagi,” ujar
Ahmad saat diskusi publik Pra-Pementasan Cannibalogy.
Senada
dengan Ahmad, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhannudin
Muhtadi menjelaskan, orang-orang yang berada di level elit partai, sering
membuat sesuatu yang irasional. Salah satunya, koalisi permanent karena eksistensi
politik itu dinamis dan tidak kekal, serta tidak ada hubungannya dengan permanent.
Selain
itu, tambah pria yang akrab disapa Burhan itu, orang yang terdidik biasanya menempatkan
jabatan tinggi di partainya. Hal tersebut merupakan rasionalitas partai. “Masuk
akal, jika di partai politik, jabatan penting diisi oleh orang yang terdidik,”
ujarnya.
Begitu
pun dengan Radhar selaku budayawan Indonesia. Ia menjelaskan sebagian politikus
di Indonesia sudah tidak lagi berasal dari pendidikan yang tinggi, dari mereka
hanyalah lulusan Sekolah Dasar (SD). Namun mereka memiliki kemampuan irasional,
sehingga menjadikan mereka orang penting di Indonesia bahkan dunia.
“Seperti
halnya Adam Malik. Ia adalah contoh yang irasional. Ia bisa menjadi perwakilan
Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), padahal hanya lulusan dari Hollandsch-Inlandsche
School, yang setara dengan SD,” tambah Radar.
Salah
satu peserta diskusi, Rizky Begi Pratama, mengkritik apa yang telah disampaikan
oleh Ahmad Baso selaku narasumber. “Kalau ada partai politik yang ziarah ketika
ada kompetisi besar, seperti Pileg dan Pilpers, itu merupakan hal yang wajar,
karena untuk melancarkan segala kebutuhannya,” Ujar mahasiswa Jurusan Filsafat,
Universitas Indonesia (UI) itu.
Menanggapi
hal tersebut, Ahmad Baso mengungkapkan, politikus yang mengadakan ziarah
kubur seharusnya mendoakan orang yang
telah meninggalnya. “Bukan malah dijadikan arena untuk politisasi, seperti hanya
mengumpulkan banyak orang dan dijadikaan ajang pencitraan partai, “ tandasnya.
ITM