Sesuai hasil
keputusan Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten tahun 2013,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta memenangi hak
kepemilikan atas tanah komplek dosen UIN yang berada di Kelurahan Pisangan
Ciputat. UIN Jakarta hanya tinggal menunggu hasil keputusan Mahkamah Agung (MA)
soal sengketa lahan tersebut.
Tercatat,
dari total 171 unit rumah, baru 70 rumah yang telah diserahkan dosen nonaktif
ke pihak UIN. Sementara sisanya masih dalam sengketa. Sejumlah warga yang
menolak beralasan mereka sudah memiliki hak atas rumah tersebut.
Ifa, misalnya. Putri ketiga Wahib–dosen UIN Jakarta–mengatakan, ia sudah tinggal di rumah warisan bapaknya sejak tahun 1994. Karena itu, Ifa bersama suami dan satu putranya enggan meninggalkan rumah tersebut.
Seharusnya, Ifa
dan keluarga merelakan rumahnya. Sebab, Ifa tidak tergabung dalam Tim
Penyelesaian Sengketa Rumah Komplek (TPRSK). Tim ini terdiri dari sejumlah dosen
nonaktif yang menolak adanya eksekusi rumah. Alhasil, mereka pun membawa kasus
ini ke pengadilan.
Ihwal
pemindahan, Ifa mengaku tak tahu jelas kapan. Namun, selama masih ada warga
lain yang tinggal di komplek dosen, ia tidak akan angkat kaki dari rumahnya.
“Lagipula, pemerintah dan UIN tidak pernah memberikan bantuan dana untuk
mengurus rumah,” ujarnya, Kamis (11/9).
Berbeda
dengan Zainun Kamal. Saat menerima surat dari pihak UIN untuk mengosongkan
rumah, guru besar Fakultas Ushuluddin (FU) itu tak menolak. Namun, ia meminta
tambahan waktu kepada pihak UIN karena proses pembangunan rumah barunya belum
rampung.
Awalnya, Zainun
tak mendukung keputusan UIN yang akan menggusur lahan komplek dosen. Namun, ia memilih
pindah dan menerima keputusan tersebut karena solidaritas terhadap warga. “Walaupun,
sebenarnya saya masih terhitung dosen aktif di UIN,” ujarnya, Kamis (11/9).
Lain Zainun,
lain pula Mursyad. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) ini terpaksa hengkang dari rumahnya karena mengetahui ada
penghuni baru.
Pengambilan
rumah terjadi saat Mursyad berada di luar daerah untuk menyiapkan pembangunan rumah
barunya, padahal saat itu Mursyad belum pensiun. “Ketika bapak saya kembali ke
rumah komplek, sudah ada pengisi rumah baru,” jelas putra Mursyad, Fuad Lutfi,
Senin (8/9).
Menanggapi hal
itu, Kepala Sub Bagian (Kasubag) Inventaris Kepemilikan Negara (IKN) UIN
Jakarta, Encep Dimyati, menjelaskan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Republik Indonesia (RI) Nomor 40 Tahun 1994 Tentang Rumah Negara, UIN tidak
perlu memberikan dana kompensasi kepada dosen yang meninggalkan rumah dinasnya.
Sebab, jika yang bersangkutan tak lagi berstatus
pegawai negeri, pejabat pemerintah atau pejabat negara, maka rumah negara harus
dikembalikan kepada instansinya. Sebenarnya, UIN tak perlu memberikan dana apa
pun kepada dosen nonaktif yang meninggalkan rumah dinas, tapi UIN tetap
memberikan dana kerahiman Rp50 Juta sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada
para dosen.
Sementara itu, ketua Tim
Penyelesaian Status Rumah Komplek (TPSRK), Khotibul Umam, memberikan pernyataan
berbeda. Menurutnya, pihak UIN tidak
bisa menuntut
para dosen nonaktif untuk pindah dari rumah dinas. Apalagi, setiap orang berhak memiliki rumah
dinas apabila rumahnya telah ditempati selama lebih dari 20 tahun. Tentu,
dengan alasan para penghuni telah membayar setengah harga rumah tersebut.
Selain itu, sambung Khotibul, ia tetap mempertahankan rumah dinas karena
dulu mantan rektor UIN, Quraish Shihab sempat mengirim surat ke pemerintah agar
rumah dinas dapat menjadi milik pribadi.
Menurut
Khotibul, sebuah rumah dapat dikatakan rumah dinas apabila seluruh biaya
renovasi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pembayaran listrik dan biaya lainnya
ditanggung negara. Sementara, khotibul mengaku, selama ini rumah yang ia, dosen,
dan TPSRK diami tidak dibiayai negara. Itulah mengapa ia menolak rumahnya
diambil.
Menyangkal
perkataan Khotibul, Wakil Rektor (Warek) IV Bidang Pengembangan dan Kerjasama
UIN Jakarta, Jamhari Makruf, menjelaskan rumah dinas dapat jadi milik pribadi
dengan beberapa ketentuan. Pertama, apabila rumah komplek itu termasuk dalam
rumah dinas tipe C, dengan luas bangunan 70m2 dan
luas tanah 200m2.
Sementara, tipe
rumah dinas yang di komplek dosen UIN bukan termasuk tipe C. Melainkan, tipe A
yang memiliki luas bangunan 250 m2 dan luas tanah
600m2. “karenanya, rumah di komplek dosen tidak bisa menjadi rumah
pribadi,” tutur Jamhari, Jumat (12/9).
AN