Seorang wanita
berpakaian serba hitam dengan rompi berwarna emas, berdiri di tengah panggung.
Ia menggerakkan tangannya bak seorang maestro yang sedang memimpin sebuah
paduan suara. Mengikuti gerakan tangan sang maestro, pemain band yang berada di sisi kanan panggung
mulai memainkan alat musiknya yang terdiri dari bass, gitar, dan piano.
Pemain marawis
yang berada di depan band pun
mengikuti gerakan tangan wanita itu dengan memainkan rebana yang dipegangnya.
Hal itu juga diikuti dengan pukulan gamelan oleh pemain karawitan yang berada
di sisi kiri panggung.
Saat musik
belum berhenti dimainkan, muncullah tiga laki-laki dan seorang perempuan
berwajah putih dengan senyum lebar di wajah mereka. Sambil menggoyangkan kedua tangan
ke atas dan ke bawah, mereka menggerakkan kedua kaki ke kiri dan ke kanan
sampai musik berhenti.
Alunan musik
berhenti, ketika Semar mengenalkan ketiga tokoh lain sebagai anaknya satu
persatu. Mereka bernama Jendil,
Gareng, dan Petruk. Setelah itu, Semar duduk diikuti oleh Jendil di belakang
sambil memijat bahunya. Sedangkan, Petruk dan Gareng duduk di atas lantai
sambil memijat kaki Semar. Ketiga punakawan itu sesekali melontarkan kalimat
pujian akan kebaikan romo-nya.
Namun, Gareng
dan Petruk bertengkar memikirkan kebaikan romo-nya
agar bisa dimanfaatkan sebagai ladang mendulang uang, seperti saat romo-nya menolong orang sakit. Sehingga
kebaikan Semar bisa terkenal dan mereka (Gareng dan Petruk) pun bisa menjadi kaya.
Semar melerai pertengkaran itu dan memberikan nasihat pada ketiga anaknya. “Menjadi
orang baik itu tak harus terkenal. Berbuat baik memang akan dilupakan, tapi
berbuat baik akan menyelamatkan kita,” ujar Semar sambil mengajak ketiga
anaknya duduk kembali.
Di tengah
perbincangan, Semar bercerita kepada ketiga anaknya tentang keberadaan ‘Kota
Senja’. Dengan muka yang berseri-seri, Jendil menceritakan keindahan kota itu.
Namun, Gareng menyanggahnya. Menurutnya, ‘Kota Senja’ itu tempat untuk para
manusia yang berputus asa.
Di tengah
pertengkaran Jendil dan Gareng, Semar memaparkan kondisi ‘Kota Senja’ yang
sebenarnya. Di sana, orang yang suka menulis keburukan pemimpinnya akan
dipenjarakan dan disiksa. ‘Kota Senja’ itu diibaratkan seperti dunia yang kita
tempati saat ini.
Tiba-tiba lampu
redup, satu persatu dari sepuluh penari Ratoeh Jaroeh naik ke atas panggung dan
berjajar rapih di sana. Mereka mengenakan baju adat khas Aceh dengan dipadukan
kain songket berwarna emas yang diselempangkan di bahu. Irama dari rebana yang
ditabuh oleh Syekh, menjadi penanda tarian itu dimulai. Perlahan, gerakan
mereka yang pada awalnya lambat menjadi cepat mengikuti ritme rebana.
Setelah
pementasan Ratoeh Jaroeh selesai, Petruk memuji penampilan yang baru saja
ditampilkan. Namun, dengan muka yang masam, Jendil mengatakan jika jaman sudah
berkembang maka selera musik pun
seharusnya berkembang.
Seketika,
Jendil pun menyanyikan lagu Sweet Child
O’ Mine dari Gun n’ Roses. Selesai Jendil menyanyikan ‘lagu barat’
tersebut, Gareng berkata, kalau itu bukan kesenian asli Indonesia. Menurutnya,
kesenian yang ‘adem’ itu berasal dari Jawa. Lalu, lagu Lir Ilir yang berasal dari Jawa Tengah pun mengalun.
Pertengkaran
tentang kefanatikan terhadap budaya pun terus berlangsung. Petruk yang menyukai
lagu Sunda tak mau kalah. Ia pun
langsung menyanyikan lagu berbahasa Sunda walau azan sedang berkumandang.
Perdebatan
terus berlanjut. Jendil mengatakan, manusia akan maju jika mengikuti budaya
luar (Barat). “Kan ada istilah
akulturasi yang artinya proses perkawinan antar budaya. Jadi kita jangan
mengikuti budaya nenek moyang yang sudah tidak sesuai,” ucap Jendil diikuti
dengan suara gemuruh yang sangat keras. Mereka ketakutan dan mencari romo, namun ia tidak ditemukan.
Lampu kembali redup,
tiba-tiba Semar sudah ada di tengah-tengah panggung sambil memegang koran dan
berkata, ”Kehidupan adalah suatu keberkahan, jadi jalani saja.” Tiba-tiba, tiga
punakawan datang dan mencari romo-nya.
Ketiga
punakawan itu akhirnya bertemu Semar yang beberapa waktu hilang. Mereka memeluk romo-nya secara bersamaan. Dengan muka
yang kesal Semar berkata, “Kalian mencari aku karena ada maunya saja. Kalian
itu banyak bicara tapi sedikit berbuat. Kita (punakawan) datang ke sini untuk
membantu orang lain dan menghibur yang sedih.” tegasnya.
Masih dengan
nada yang kesal, Semar mengatakan, manusia jangan memperdebatkan soal budaya
saja. Banyak masalah yang perlu diperhatikan, misalnya kemiskinan dan ketidakpedulian
terhadap rakyat kecil. Di akhir pementasan, Semar dan ketiga anaknya
menyanyikan lagu Dunia Sandiwara diiringi
musik dari pemain band.
Pertunjukan drama
musikal yang berjudul “Nyanyian Punakawan” ini merupakan sebuah pementasan
kolaborasi antar anggota Pojok Seni Tarbiyah (POSTAR). Di antaranya band, karawitan, degung, marawis, paduan
suara, tari Ratoeh Jaroeh, dan tari kontemporer. Pertunjukan ini diadakan di Hall Student Center (SC) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Sabtu (13/9) malam.
Sutradara drama
musikal “Nyanyian Punakawan”, Mabruroh, mengatakan tujuan dari pementasan ini
untuk menyadarkan khalayak agar peka terhadap permasalahan yang sedang dialami
oleh orang lain.
Selain itu,
kesenian-kesenian yang diselipkan dalam drama bertujuan untuk memberitahu kepada
khlayak, jangan hanya mencomot
kebudayaan dari nenek moyang saja. “Kita
juga harus menciptakan kebudayan kita sendiri tanpa harus menghilangkan budaya
nenek moyang,” jelas mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(PBSI), Sabtu (13/9).
Pementasan drama
musikal “Nyanyian Punakawan” itu disaksikan
oleh 400 orang. Salah satu pengunjung, Faridatul Amania mengatakan,
pementasan yang diadakan oleh POSTAR sangat seru. “Pesan yang ingin disampaikan
pun dapat dimengerti dan dipahami oleh penonton,” ujar mahasiswi Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (PIPA), Sabtu (13/9).
AS