Ratusan kata
dan kalimat dari berbagai bahasa terpampang tak beraturan di atas lukisan
berukuran 152 x 91 cm. Sagrado, gleno,
deus, for the homeland for the
nation, itulah sebagian kata maupun kalimat yang menyatu dengan warna-warni
cat dan kain tradisional khas Timor Leste. Tak ada maksud lain pelukis
menarikan kuasnya di atas kanvas tersebut, selain mengingat kembali gejolak
yang pernah terjadi di Timur Leste beberapa tahun silam.
Lukisan
tersebut berjudul Reconciliation yang
merupakan hasil karya seorang seniman wanita asal Timor Leste, Maria Madeira.
Ia menggunakan minyak, akrilik, pastel, ludah sirih-pinang, batu tanah di tepi
sungai, rambut manusia, dan benang timbul ditenun tradisional (tais).
Lebih dari 20
lukisan Maria Madeira merefleksikan gejolak yang terjadi di Timor Leste.
Ingatan Maria atas perang saudara yang terjadi di Timor Leste saat daerah
tersebut masih bersatu dengan Indonesia dituangkan dalam karyanya.
Di tengah Galeri
Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sorot mata pengunjung tertuju pada
karya seni instalasi berjudul Tali Pusar.
Karya tersebut menyajikan seni rupa kayu yang menggantung dengan tali putih di
langit-langit ruang pameran. Sementara percikan-percikan berwarna cokelat
kemerahan dengan bahan dasar buah pinang dan arang berada tepat di bawah kayu
yang menggantung.
Selain itu,
wanita kelahiran Gleno ini memajang karya lainnya yaitu Ina Lou I, II & III
(Ibu Pertiwi I, II & III), Laiha Titulu (Untitled), dan Asuntus
Kontemporaneus (Masalah Contemporary).
Leonhard
Bartolomeus, seorang kurator mengatakan, ia terkesan setelah melihat karya seni
Maria Madeira. “Kesan pertama dan menurut saya yang paling kuat adalah kesan
tentang ingatan. Kedua adalah kesan feminism,
yang dapat dipahami secara jelas melalui tajuk pameran yang dalam bahasa
Indonesia secara harfiah dapat diartikan sebagai Ibu Pertiwi,” ujarnya.
Kesan ketiga,
lanjut Leonhard, adalah kritik Maria atas kehidupan sosial politik yang ia coba
letakkan sebagai penguat perspektif ideologis kekaryaannya. Pada seluruh
karyanya, baik lukisan maupun instalasi berdasar pada ketiga persoalan tersebut.
Kita dapat,
tambah Leonhard, menyaksikan bagaimana ingatan-ingatan
Maria tersebut diolah sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah karya yang tak
hanya bersifat kritis namun juga memiliki nilai puitis di dalamnya. Artinya
ingatan-ingatan tersebut tidak disajikan mentah-mentah untuk kemudian mendorong
orang menjadi iba dan terenyuh.
Kerinduan Maria
pada tanah air Indonesia dapat dilihat pada seluruh karya yang ia tampilkan
dalam pameran ini. Maria mencoba untuk menampilkan kembali ingatan-ingatan
tentang Timor Leste dalam karyanya melalui penggunaan sumber alam serta motif
tradisional timur. Lewat Ina Lou ia
berusaha untuk mengajak kita mengingat kembali keberadaan ibu pertiwi yang
selama ini telah membesarkan budaya Timor Leste.
Salah satu
pengunjung, Pandapotan Lubis mengatakan, ia menyukai lukisan-lukisan Maria
Madeira dalam pameran Ina Lou. “Pencampuran
warna sangat bagus apalagi pewarnaan lukisan menggunakan bahan dasar tumbuhan
dan alam bahkan rambut pelukis sendiri pun digunakan untuk melengkapi
lukisannya,” ujarnya (6/8).
JK