Sembari duduk
di atas bakul, seorang wanita berambut cepol
meneteskan air mata. Tatapannya kosong, ia tak menggubris keberadaan tiga gadis
bernama Kalausang, Kalapra dan Kalakini yang mondar-mandir mengangkat kurungan
bambu setinggi tiga meter. Dengan keringat di sekujur tubuh, ketiga gadis itu
berteriak dan bersahutan sebelum akhirnya jatuh tersangkut di ruas kurungan
bambu.
Tak lama setelah
terjatuh, tiga gadis itu langsung bangkit memasuki kurungan bambu. Mereka menyeret
satu per satu sebelas kurungan bambu dan berebut untuk menyusunnya. Setelah
tersusun, mereka menaiki susunan bambu dan berdiri di atasnya.
Melihat
kelakuan tiga pemuda yang berdiri tegak di atas bambu, wanita itu berteriak
seolah menyindir ketiga pemuda. “Kehidupan ini menempel pada diriku seperti
penyakit tumor. Membengkak, semakin lama semakin bergeser dan menutupi penglihatanku.
Aku telah kehilangan hampir seluruh yang aku punya, hampir tak ada di tubuhku,
aku sudah betul-betul kehilangan,” katanya.
Mendengar
perkataan wanita itu, mereka perlahan turun dan menjatuhkan satu persatu
jejeran bambu yang telah mereka susun. Mereka kembali menyeret sebelas kurungan
bambu tersebut ke kedua sisi sudut panggung.
Di akhir
pementasan, ketiga gadis cantik itu menaruh kurungan bambu berukuran kecil di atas
kepala mereka. Dengan pakaian yang kotor dan berkeringat, mereka menyender di
kurungan bambu.
Dalam pementasan teater Relief Tanpa Dinding, kurungan bambu menggambarkan
waktu yang memperbudak manusia layaknya sebuah mesin. Waktu yang selalu
memposisikan orang-orang dalam ketakutan disertai tangisan dan jeritan. Hal
tersebut yang menunjukan upaya untuk menyadarkan tentang tujuan hidup manusia.
Dadang Badoet selaku
sutradara menjelaskan, alasan penggunaan elemen bambu yang dijadikan sebagai waktu. Bambu itu
lembut, lanjut Dadang, bambu bisa menjadi penjara, bisa menjadi pelindung dan
di sisi lain dia tak bisa menjadi apa-apa yang sama halnya dengan waktu.
Dadang
menambahkan, sebagai masyarakat urban, manusia seharusnya lebih menjaga kondisi
agar tidak kehilangan kontrol dalam keterhimpitan waktu. “Sesungguhnya, manusia
ingin menguasai waktu tetapi tetap waktu lebih kuat dari manusia dan menjadikan
manusia sebagai mesin,” ujarnya, Rabu (10/9).
Dalam persiapan
pementasan teater Relief Tanpa Dinding membutuhkan
waktu yang cukup lama. Salah satu pemain, Yohana Gabe menuturkan, teater
tersebut memerlukan waktu tujuh bulan untuk latihan dengan kedisiplinan yang
ketat. Tetapi, kata perempuan yang sering disapa Jo, selama menjalani latihan
dengan santai akan terasa menyenangkan.
Jo mengatakan,
pementasan tersebut memberi pesan berharga untuk penontonnya “Waktu bisa
menelan siapa saja, kapan saja dan di mana saja, untuk itu kita harus bisa
untuk mengatur waktu,” kata Jo ketika ditemui di Galeri Nasional Kamis (10/09).
Pertunjukan
teater yang diadakan di Galeri Nasional Indonesia mendapatkan tanggapan positif
dari penontonnya, salah satunya Izhati Qoirina. “Pementasan tersebut sangat
menarik dan mengesankan karena memberikan pesan kepada kita untuk lebih
menghargai waktu,” ujar Qoirina, Kamis (10/9).
IP