Judul: Manusia Indonesia
Penulis:
Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Isi: 140 Halaman
Terbit: Mei 2001
ISBN: 978-979- 91-0515-8
“Manusia
Indonesia karena semua ini, juga penuh dengan hipokrisi. Dalam lingkungannya
dia pura-pura alim, akan tetapi begitu turun di Singapura atau Hongkong, atau
Paris, New York dan Amsterdam, lantas loncat ke taksi cari nightclub, dan pesan perempuan pada pelayan atau portir hotel. Dia
ikut maki-maki korupsi tetapi dia sendiri seorang koruptor.” (Manusia Indonesia
hal.19)
Petikan paragraf dalam buku berjudul Manusia Indonesia merupakan salah satu ciri manusia Indonesia yang
cukup menonjol yaitu hipokritis alias munafik. Manusia Indonesia kini semakin
pandai menyembunyikan kata hatinya, perasaan, pikiran dan keyakinan yang
sesungguhnya.
Sistem feodal dan kolonial di masa lalu berpengaruh besar
atas tertanamnya hipokrisi dalam diri manusia Indonesia. Manusia Indonesia bertingkah
pura-pura dengan tujuan mencari selamat sendiri, memakai prinsip terhadap
atasan dengan sikap asal bapak senang.
Ciri
selanjutnya yang menggambarkan manusia Indonesia adalah enggan bertanggung
jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya dan pikirannya. Terbukti
dengan kalimat “Bukan saya” dan “Saya hanya melaksanakan perintah dari atasan!”
yang seringkali diucapkan sebagai bentuk nyata dari sikap tak bertanggung
jawab.
Jiwa feodal
juga terdapat dalam diri manusia Indonesia. Jiwa feodal ini tumbuh dengan subur
di kalangan atas maupun bawah. Kalangan atas mengaharapkan bawahannya agar
patuh, hormat, takut dan merendah diri. Begitupun sebaliknya si bawahan yang
berjiwa feodal dengan setia mengabdi pada atasan.
“Pernah seorang
kawan bercerita, bahwa dia pernah hendak menelepon seorang pembesar, yang
diterima oleh seorang ajudan atau sekretaris dan ketika dia mengatakan bahwa
dia hendak berbicara dengan sang bapak, maka sang ajudan atau sekretaris,
berkata: “Apa bapak sudah ada janji?” Dia heran sekali dan bertanya, kok mau
menelepon perlu janji. Soalnya banyak orang merasa bahwa langsung menelepon
pembesar itu kurang sopan. Yang sopan menurut jiwa feodal kita ialah pergi menghadap,
maka perlu menunggu, dari beberapa hari sampai beberapa minggu.” (Manusia
Indonesia hal. 24)
Lalu ciri
berikutnya ialah manusia Indonesia masih percaya pada takhayul. Tak jauh beda
dengan masa lalu, manusia Indonesia masa kini masih percaya bahwa batu, gunung,
pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, dan pedang
mempunyai kekuatan gaib.
Belum lagi
manusia Indonesia mempunyai watak yang lemah dan karakter yang kurang kuat.
Manusia Indonesia tak konsisten ketika mempertahankan atau memperjuangkan
keyakinannya. Kegoyahan watak ini merupakan dampak dari jiwa feodal. Demi
menyenangkan atasan dan menyelamatkan diri, manusia Indonesia memilih untuk
bersikap asal bapak senang.
Dari sekian
banyak ciri negatif yang telah diungkapkan Mochtar Lubis, satu-satunya ciri
positif adalah sifat manusia Indonesia yang artistik. Indonesia memang
merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya yang beraneka ragam. Daya
artistik manusia Indonesia menghasilkan beragam seni rupa dan kerajinan yang
sangat indah. Ciri ini merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi masa depan
manusia Indonesia.
Meskipun buku
ini berisi pidato Mochtar Lubis yang disampaikan pada tahun 1977, namun isinya
masih sangat relevan jika dibaca sekarang. Sebab, sampai saat ini sifat-sifat
buruk manusia Indonesia masih dapat ditemukan dan belum berubah dari masa ke
masa.
Tata bahasa
yang lugas dan gamblang memudahkan pembaca memahami isi dari pidato tersebut. Buku
ini mengungkapkan kebobrokan-kebobrokan yang merupakan refleksi dari manusia
Indonesia saat ini. Manusia Indonesia hadir
di tengah masyarakat Indonesia yang sedang dilanda krisis moral dan karakter.
Sebagai cerminan, adanya buku ini dapat membantu membangun kembali manusia
Indonesia ke arah yang lebih baik.
JK