Cublak-cublak suweng
Suwenge teng gelenter
Mambu ke tundung gudel
Pak Gempong lerak-lerek
Sopo ngguyu delek ake
Sir ... sir ... pong dele kopong
Kalimat itu tak
henti-hentinya dinyanyikan lima belas orang anak ber-makeup tebal di
atas panggung. Senyum lebar tergambar jelas di wajah lima belas anak bangsa
itu. Sambil duduk bersimpuh, mereka begitu lihai memainkan tangannya; bertepuk
tangan, tepuk bahu, tepuk lantai, sambil berusaha menyembunyikan bola tanpa menghentikan
gerakannya.
Permainan terhenti ketika salah
seorang di antara mereka membocorkan siapa si pemegang bola. Adu mulut hingga
perkelahian pun tak terhindarkan. Namun, setelah dilerai suasana kembali
seperti semula dan mereka pun kembali
bermain. Kecurangan kembali berulang pada permainan-permainan lainnya seperti oray-orayan,
dan jaleuleu.
Perselisihan yang semula dipicu
oleh kecurangan kemudian berubah menjadi perkelahian. Mengenakan kostum
layaknya aparat kemanan dan mahasiswa, lima belas orang anak yang berperan
sebagai anak bangsa di adegan sebelumnya, kemudian saling bentrok bak tragedi
reformasi 16 tahun silam. “Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan,” teriak lantang
si mahasiswa.
Huru-hara
berakhir ketika terdengar salah seorang di
antara mereka berkata, “Saya Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden
Republik Indonesia.” Sontak, raut kegembiraan terpancar dari muka para mahasiswa itu.
Diceritakan, pasca peristiwa
reformasi itu partai politik bermunculan. Rakyat
akhirnya memperoleh hak pilih untuk menentukan pemimpinnnya. Meski begitu, perselisihan
tetap tak terelakkan. Para simpatisan dari masing-masing parpol itu kembali
berkelahi. Bahkan, beberapa di antara mereka hingga tak sadarkan diri.
Tak lama, seorang pemuka agama datang dan membangunkan mereka yang tak sadarkan diri. Ia
meminta agar mereka semua bertobat dan memohon ampun pada Tuhan. Namun sayang,
mereka bingung karena nama Tuhan mereka berbeda. Bentrokan antar agama pun
pecah. Bukan lagi sebatas perkelahian tetapi berujung pada pemerkosaan. Situasi
ini terus berlangsung hingga mereka semua kembali tak
sadarkan diri lantaran kehabisan tenaga.
Pertunjukan drama ini usai
tatkala Ibu Pertiwi, seorang perempuan yang diperkosa melahirkan seorang
bayi. Suara tangis sang bayi membangunkan orang-orang yang pingsan karena telah lelah jiwa raganya. Mereka
berkumpul, menimang-nimang sang bayi. Ibu Pertiwi pun mengumumkan nama anaknya,
dengan nama pancasila.
Demikian lakon bertajuk
‘Reformasi’ karya Gusjur Mahesa yang diperankan Teater Tarian Mahasiswa (TTM)
di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki (TIM), Sabtu (16/8). Terinspirasi dari
puisi bertajuk ‘R eformasi (d/h Merdeka) Atawa Boleh Apa Saja’ karya Mustofa
Bisri (Gus Mus), Gusjur menyuguhkan teater beraliran realisme sosialis semiotik,
di mana penonton menikmati lakon hanya dari gerak tubuh serta mimik para aktornya
saja.
Bertepatan
dengan hari lahir TTM yang ke-13, pementasan ini sekaligus memperingati hari
kemerdekaan Republik Indonesia ke-69. “Saya berharap, teater yang menyajikan
kelahiran pancasila ini dapat menjadi makna baru serta harapan baru bagi bangsa
Indonesia,” kata Gusjur, Sabtu (16/8).
NR