![]() |
Kerusakan Candi Trowulan di Kabupaten Trowulan, Mojokerto. (Sumber: arsitektnusantara.wordpress.com)
|
Cagar
budaya merupakan bagian dari situs sejarah yang harus dipelihara. Baik oleh
pemerintah, maupun masyarakat setempat. Seperti yang tertulis dalam Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, setiap cagar budaya berhak
mendapatkan perlindungan yang layak. Sayangnya, sampai saat ini masih ada
beberapa situs sejarah di Indonesia yang kondisinya memprihatinkan.
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
mencatat, kerusakan terparah terjadi pada situs Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur. Kerusakan terjadi sejak tahun 1960. Meski sudah
direvitalisasi, kerusakan masih saja terjadi, karena banyak penduduk mengambili
batu bata kuno untuk dijadikan semen merah.
Tak hanya di Trowulan, kondisi serupa juga terjadi di
Banten (Istana Kaibon) dan Bogor (Astana Van Motman). Kerusakannya beragam, mulai
dari dinding yang dipenuhi coretan, tanaman dan rumput liar yang tumbuh, dan bangunan
yang sudah lapuk karena tak terurus.
Menanggapi hal
itu, Kepala Dokumentasi Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Rochie menuturkan,
ketidakpedulian masyarakat dalam menjaga situs sejarah sulit dihindari.
Menurut Rochie,
masalah perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan cagar budaya bukan
sepenuhnya tanggung jawab Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. “Seharusnya ada kerjasama, baik dari masyarakat maupun pemerintah setempat,” ujarnya, Kamis
(10/7).
Sedangkan,
menurut Kepala Badan Pelestarian cagar Budaya Serang, Yusuf Budi Aryanto,
menuturkan, pengelolaan cagar budaya di setiap daerah Indonesia belum optimal karena
kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM).
Yusuf juga
menjelaskan, anggaran yang diberikan oleh pusat sangat terbatas sehingga tak memungkinkan
baginya menambah pegawai. Sebenarnya, setiap direktorat di Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memiliki 57 pegawai. Namun, untuk
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kemendikbud hanya
memberikan 8 orang pegawai.
Terkait hal
itu, Staf Subdirektorat Registrasi Nasional Pelestarian Cagar Budaya dan
Permuseuman, Guntur menuturkan, pihaknya telah menyesuaikan jumlah pengelola
dengan tugas yang sesuai. Namun, adanya
kelalaian dalam pelindungan situs cagar budaya masih terjadi. “Masyarakat memanfaatkan lahan
cagar budaya hanya untuk kepentingannya saja,” paparnya.
Direktorat
Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, kata Guntur, telah berupaya seoptimal
mungkin dalam melestarikan cagar budaya. “Masih ada daerah yang belum memiliki
ketetapan hukum dalam merawat cagar budaya menjadi salah satu terhambatnya
upaya pemerintah pusat,” jelasnya.
Guntur
menambahkan, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman butuh dukungan
dari Pemda dan masyarakat setempat untuk melestarikan cagar budaya. “Kerjasama
antara masyarakat dan pemerintah daerah atau provinsi dalam merawat cagar
budaya akan sangat membantu,” katanya.
AN