Masa
kampanye Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) pemilu
tahun ini telah berakhir. Namun, beberapa pelanggaran masih saja ditemui dan
seringkali terjadi di sekitar kita. Menurut lembaga pengawas kampanye MataMassa, terdapat ratusan laporan pelanggaran yang
diterima dari masyarakat terkait pelanggaran kampanye yang bisa dilihat dalam situs matamassa.org. Untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai pelanggaran kampanye dan bagaimana kita
mengenal kampanye yang baik, berikut hasil wawancara reporter INSTITUT, Nur Hamidah dengan Muhammad
Irham, project officer MataMassa, Minggu (6/7), di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Banyak sekali pelanggaran kampanye yang
dilakukan oleh Capres dan Cawapres pemilu saat ini, bagaimana pengelompokkan
pelanggaran kampanye itu?
Menurut
kami (MataMassa),
ada dua kategori kampanye. Pertama, kategori pidana atau terkait dengan politik
uang. Misalnya saja
ketika salah satu tim sukses memberikan janji, barang, atau jasa
kepada masyarakat yang berusia di atas 17 tahun atau yang sudah punya Kartu
Tanda Penduduk (KTP), untuk memengaruhi mereka agar memilih capres yang
diusungnya.
Barang yang
diberikan dapat berupa uang atau benda. Dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU),
benda yang harganya di atas Rp100 ribu, sudah termasuk kampanye uang (money politic). Tapi kalau sekadar kaus
dan jam dinding, itu gak masalah.
Kedua,
kampanye hitam. Sesuatu yang sifatnya menyinggung persoalan suku, adat, ras, dan
golongan, itu termasuk pada kampanye hitam dan akan dikenakan sanksi dengan pelanggaran
pidana. Misalnya, ada seseorang melalui akun media sosialnya menyebutkan bahwa jangan
pilih capres no. Urut 1 karena dia keturunan Cina, atau jangan pilih capres no. Urut 2 karena dia Katolik.
Nah, karena ia sudah menyebut ras dan agama, maka bisa dikenakan sanksi pidana. Memang, ia
bicara soal fakta. Namun kemudian kata-kata seperti itu bisa memecah belah
masyarakat dalam hal keyakinan.
Selain itu, ada media kampanye dalam bentuk atribut yang dipasang di sekolah-sekolah,
tempat ibadah dan fasilitas umum. Bagaimana dasar hukumnya?
Itu
masuk ke dalam pelanggaran administrasi. Kalau ada ajakan-ajakan berbentuk
ceramah di tempat ibadah, itu menyalahi pidana. Kemudian yang paling mungkin terjadi
ialah menggunakan fasilitas negara. Misalnya kepala daerah dengan jabatannya,
mengarahkan masyarakat di bawahnya untuk memilih calon tertentu di luar masa
cuti. Nah, itu bisa kena pidana.
Selain itu, atribut yang berada di sekolah, kantor pemerintahan, kantor kecamatan
sampai kantor gubernur, harus cepat dicopot.
Siapa yang akan dijatuhi hukuman jika ada
pelanggaran seperti itu terjadi? Apakah kepada
calonnya atau hanya tim suksesnya saja?
Untuk
mengetahui siapa yang melakukannya, kita perlu investigasi. Kita tidak bisa
menebak-nebak siapa yang memasangnya. Untuk sementara waktu, kita laporkan pada
Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Untuk sanksi yang akan dijatuhkan, BAWASLU
yang akan menegur pihak pemenangan calon tersebut.
Bagaimana dengan atribut-atribut yang
dipasang di rumah-rumah? Apakah
itu termasuk bentuk
kampanye yang tidak diperbolehkan?
Kalau
sekiranya pemilik rumah itu tidak keberatan, tidak masalah. Namun, lain halnya
jika dipasang di jalan protokol, taman, masjid, dan gereja. Karena sudah menyangkut
fasilitas publik.
Kapan batas waktu untuk kampanye dalam
pemasangan atribut? Lalu bagaimana dengan penanganan pelanggaran dari MataMassa sendiri?
Waktu
pemasangan atribut kampanye itu sampai pukul 12 malam di hari terakhir batas
waktu yang telah ditentukan, yaitu tanggal 6 Juli kemarin. Spanduk-spanduk harus
sudah dicopot pada saat itu. Jika masih ada, kita dapat laporkan pada BAWASLU
dan masuk pelanggaran administrasi. Pertama, kita foto bukti pelanggarannya
itu, lalu dikirim ke website matamassa.org. Sampai sekarang, sudah ada 205 pelanggaran
dalam kampanye yang kita verifikasi.
Setelah adanya kampanye pidana, bagaimana
dengan kampanye negatif? Apakah sama halnya dengan kampanye hitam?
Lain
halnya dengan kampanye pidana, kampanye negatif itu diperbolehkan. Sebab di
sana kita membicarakan fakta. Media nasional pun memainkan kampanye negatif
dalam pemberitaannya. Contohnya, kita membicarakan fakta kalau Jokowi tidak
menuntaskan masa jabatannya selama 5 tahun, karena dia mencalonkan diri menjadi
presiden. Atau, misalnya Prabowo pernah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM). Dia juga terlibat kasus penculikan aktivis dan sebagian dari mereka
belum kembali.
Lantas, selain melakukan kampanye negatif,
apakah media nasional juga melakukan pelanggaran? Dan bagaimana tindak lanjut atas pelanggaran yang dilakukan oleh media
massa?
Oh
pasti. Pelanggaran lain yang terjadi biasanya menyangkut kode etik, seperti
pemberitaan yang tidak berimbang. Kita pernah dapat laporan adanya pencemaran
nama baik yang ditujukan pada salah satu calon yang dilakukan oleh media TvOne dan MetroTv.
Selain
lewat media televisi, pelanggaran lain juga ditemukan lewat ponsel. Banyak
orang menerima pesan singkat dari salah satu tim capres. Hal ini juga dipandang
merugikan konsumen. Sebagai konsumen, kita merasa keberatan dong, itu kan hak dan privasi untuk dapat pesan singkat. Kalau kasusnya
melalui pengiriman pesan seperti itu, maka pelanggarannya sudah terkait KUHP.
MataMassa sebagai lembaga yang mengawasi
kampanye pemilu, telah menerima banyak laporan pelanggaran. Bagaimana proses
verifikasi yang dilakukan atas laporan pelanggaran kampanye itu sendiri?
Pertama,
kita periksa identitas pelapor di antaranya nama, nomor telepon, dan alamat email. Mereka yang melaporkan
pelanggaran, akan kita rahasiakan identitasnya. Kedua, isi dari laporan itu
sendiri. Kita tentukan kategori pelanggaran yang dilaporkan itu termasuk
pelanggaran apa. Masyarakat kan tidak
semuanya tahu ini pelanggaran pidana, administrasi, atau yang lain-lain.
Ketiga,
kita verifikasi laporan itu sendiri. Misalnya, kemarin saat pemilu legislatif ada laporan di daerah
Bogor sudah ada surat suara yang sudah dicoblos. Nah, kita verifikasi dengan langsung datang ke lapangan. Biasanya itu
terkait pelanggaran yang berat.
Sejalan dengan berkembangnya teknologi, bagaimana
dengan gaya kampanye
kreatif? Seperti pembuatan game yang
disisipi logo atau atribut pasangan calon, juga pemasangan foto profil yang disertai nomor urut calon pilihan di media sosial. Apakah itu diperbolehkan?
BAWASLU
sendiri belum memiliki dasar hukum untuk kampanye melalui game. Sama halnya dengan menempelkan stiker di angkutan umum.
Sebenarnya tidak apa-apa. Jadi, dapat dikatakan kalau Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan Bawaslu itu agak “tertinggal
sepuluh langkah” dari teknologi sekarang.
Untuk
pemasangan foto profil di media sosial, itu sah-sah saja. Secara tidak langsung
itu bukan kampanye, tapi klaim kalau seseorang memilih salah satu calon. Ketika ia tidak mengatasnamakan
tim sukses, itu diperbolehkan karena hak politik setiap individu.