Sedikitnya pemerintah
yang mengerti tentang pentingnya film untuk menjaga kebudayaan, mengakibatkan
kurangnya perhatian dalam perkembangan perfilman di Indonesia. Padahal,
untuk meningkatkan kualitas perfilman di
Indonesia harus terjalin hubungan antara
pemerintah dan seniman film. Hal itu diungkapkan sutradara film Soegija,
Garin Nugroho dalam acara diskusi Film, Budaya, dan Kebangsaan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (4/7).
Garin Nugroho kecewa
akan kurangnya ruang untuk seniman film di Indonesia. Menurutnya, sistem pemerintahan
berpengaruh pada perkembangan film di Indonesia. “Setiap periode pemerintahan
melahirkan jenis film yang berbeda,”
jelas Garin.
Pascareformasi,
kata Garin, sistem pemilihan langsung muncul dan melahirkan budaya serba publik.
Akibatnya, segala sesuatu yang bersifat tidak menarik mengalami kemunduran
serta tidak mendapatkan ruang tumbuh dan perhatian publik.
Menurutnya, kondisi
perfilman di Indonesia mengalami kemunduran dan kemerosotan perhatian. Garin
mencontohkan, presiden hanya menonton film yang banyak diminati masyarakat
seperti film Ayat-ayat Cinta.
Padahal, lanjut Garin, film-film yang mengandung nilai budaya Indonesia
sekarang bermunculan namun tak menjadi perhatian publik.
“Memproduksi sebuah
film tak semudah bayangan masyarakat, biaya yang tak sedikit dan respon
masyarakat terhadap film yang sedang diproduksi menjadi pertimbangan kami,”
tambah Garin .
Senada dengan
Garin, aktor senior Ray Sahetapy juga kecewa pada kondisi perfilman di
Indonesia. Ray mengatakan, saat ini masyarakat Indonesia lebih memilih untuk
menonton film luar dibandingkan film lokal. Menurutnya, hal tersebut terjadi
karena media di Inonesia lebih sering mengiklankan film luar dibandingkan film
lokal.
Buktinya,
lanjut Ray, banyak seniman yang mencari nafkah dengan menjual kemampuannya di
pinggir jalan, seperti seniman-seniman jalanan di Yogjakarta. Bagi Ray, seniman
jalanan tersebut mampu mengembangkan bakat mereka lebih dari sekadar menjadi seniman
jalanan.
Menanggapi hal
itu, anggota Komunitas Kritik Indonesia Dhani Arul mengatakan, masalah utama perfilman
Indonesia adalah kurangnya minat masyarakat untuk menonton film dalam negeri.
Dhani menilai, pemerintah perlu membuat promosi film dalam negeri lebih
menarik agar mendapat perhatian masyarakat. “Pemerintah juga harus mendirikan
komunitas-komunitas untuk menyalurkan bakat para seniman yang kurang perhatian,”
saran Dhani, Jumat (4/7).
Ketua Badan
Perfilman Indonesia (BPI), Alex Komang tak sependapat akan kurangnya minat
masyarakat terhadap film dalam negeri. “Bioskop di Indonesia tak tersedia di
setiap daerah, bagaimana masyarakat dapat mengenal film-film dalam negeri,
apalagi di pelosok,” kata Alex, Senin (14/7). Alex juga tak sependapat dengan
larangan terhadap film yang bertema kritik pemerintah.
Alex
menambahkan, produser dan pemerintah memegang peran penting di dunia perfilman Indonesia. Selain itu, masyarakat juga sangat
berperan dalam mengembangkan perfilman di Indonesia. “Apabila salah satu pihak
bermasalah semuanya akan bermasalah juga,” tutup Alex.
IP