Laju deforestasi atau
penggundulan hutan semakin hari semakin meningkat di Indoesia. Bahkan, menurut
Hartono, Sekretaris Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA),
luas hutan Indonesia pada 50 tahun ke depan akan berkurang dari 130 juta
hektare (ha) menjadi 70 juta ha. Hal itu membuktikan Indonesia kehilangan 1
juta ha hutan setiap tahunnya.
Data Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) menunjukan adanya peningkat laju deforestasi terutama semenjak
2001. Laju deforestasi pada 2001 sebesar
4,1 juta ha/tahun. Lalu, sepuluh tahun kemudian, meningkat menjadi 5,4 juta
ha/tahun. Bahkan, data terbaru menyatakan deforestasi pada 2014 menjadi 5,6
juta ha/tahun. Deforestasi ini paling besar disumbangkan oleh penebangan liar
dan perkebunan kelapa sawit.
Menanggapi hal tersebut,
Hartono menuturkan, deforestasi memang hal yang sulit untuk dihindari. Sampai saat
ini pembukaan lahan secara ilegal oleh warga atau pun pengusaha masih menjadi
masalah. Banyak di antara mereka yang membuka lahan seenaknya dengan alasan
untuk kesejahteraan masyarakat. “Serba salah jika kami terlalu tegas karena
banyak yang mengatakan hutan adalah hak masyarakat juga,” jelasnya, Kamis
(10/7).
Menurut Hartono, izin
pembukaan dan pembagian fungsi lahan atau tata ruang tidak bisa ditentukan
sendiri oleh Kementrian Kehutanan. Pihaknya mesti bekerjasama dengan Pemerintah
Daerah (Pemda) yang memiliki kewenangan untuk mengatur tata ruang daerah. “Jadi,
jumlah hutan lindung, hutan produksi, dan jenis hutan lainnya pada tiap daerah
itu berbeda,” ujarnya.
Sedikit berbeda dengan
Hartono, Muhammad Islah, Manajer Kampanye Pangan dan Air WALHI mengungkapkan, banyaknya
hutan tetap yang beralih fungsi menjadi Hutan Tanam Industri (HTI) menyebabkan deforestasi
di Indonesia. Hal ini disebabkan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan
pemerintah secara terus menerus pada pengusaha untuk dijadikan lahan bisnis.
Menurut Islah, pihaknya
sudah mengusulkan pada pemerintah untuk melakukan moratorium
loging atau jeda tebang sejak tahun 2003. Namun, hal itu baru direalisasikan
langsung oleh presiden pada 2012.
Dalam moratorium loging seharusnya tidak boleh ada penebangan dan
penerbitan izin untuk membuka lahan. “Tetapi pada kenyataannya sampai sekarang
masih banyak hutan yang ditebang dan izin HPH yang
dikeluarkan,” ungkap Islah, Senin (1/7).
Terkait hal itu, Hartono
menuturkan, pihaknya telah menjalankan program moratorium loging. Namun, penebangan masih boleh dilakukan jika
pengusaha sudah mendapatkan izin sebelum adanya program tersebut. “Izin HPH juga
masih kita terbitkan selama pengusaha membuka lahan pada hutan konversi yang
memang tidak dipertahankan sebagai hutan tetap,” paparnya.
Kementrian Kehutanan, kata
Hartono, telah menetapkan standar untuk tiap daerah harus memiliki minimal 30%
daerah yang tertutup pohon. Sayangnya, ada daerah yang belum memenuhi standar
minimal, seperti Jawa dan Bali. Sedangkan untuk Sumatera, Kalimantan, dan Papua
masih berada di batas standar.
Melihat keadaan hutan
Indonesia yang seperti ini, menurut Islah, WALHI menginginkan semua izin lahan dibenahi
(reforma agraria). Dalam reforma agraria juga diatur bahwa setiap
petani harus memiliki lahan sendiri dan tidak boleh adanya penguasaan lahan
oleh orang-orang tertentu. “Misalnya, penduduk di Pulau Jawa itu tidak boleh
memiliki lahan lebih dari 5 ha,” paparnya.
Sehubungan dengan itu,
Hartono mengungkapkan, pihaknya butuh dukungan berbagai pihak mulai dari Pemda
hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melestarikan hutan. “Seharusnya
ada kebijakan yang paralel, dimulai dari menekan jumlah penduduk sehingga kebutuhan
lahan pun bisa berkurang dan kita bisa mengembalikan fungsi hutan,” pungkasnya.
Erika Hidayanti