Air mata keluar dari pria bertubuh gempal itu. Ia diam. Mulutnya membisu. Tak kuasa untuk
melanjutkan pembicaraannya. “Rekamannya tolong dimatiin dulu aja mas,” katanya terbata-bata. Tak lama, ia lantas
melanjutkan ceritanya. Masih dengan keadaan yang sama. Namun kali ini ia lebih
bisa mengontrol emosinya agar tak mengeluarkan air mata.
Pria itu Juanda Saputra, mahasiswa Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Ilmu pendidikan (FITK), jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (PBSI). Air mata Juanda tak terbendung ketika INSTITUT menanyakan perihal suka dukanya
menjadi mahasiswa different abilities people (difabel) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. “Yah, mau gimana lagi mas, dijalani aja kalo udah kayak gini mah,” ujarnya, Minggu (5/7).
Sejak diterima menjadi mahasiswa UIN Jakarta pada 2011
silam, Juanda harus menjalani hari-harinya
dengan penuh perjuangan karena penglihatannya bermasalah. Lantaran hal itu, sejak
duduk di semester satu, ia harus menggunakan alat perekam untuk memahami materi kuliah
yang disampaikan dosen maupun temannya ketika presentasi di kelas.
Tak hanya itu, mahasiswa yang kini menginjak semester
tujuh itu juga terpaksa menyewa jasa ketik untuk mengerjakan tugas-tugas
kuliahnya. Dalam sebulan, Juanda bisa mengeluarkan kocek setidaknya
Rp100 ribu untuk membayar jasa ketik.
Kepada INSTITUT, anak kelima
dari tujuh bersaudara ini sangat berharap, pihak kampus setidaknya menyediakan
fasilitas yang bisa menunjang belajarnya di kelas. Juanda mengaku, tak adanya
buku braille-lah yang selama ini membuatnya susah belajar di kelas. “Terus dari buku, ya Allah, kesuitan banget,”
keluhnya.
Sesuai UUD 1945 Pasal 28
C ayat 1 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, setiap
warga negara berhak memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan,
bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Namun, UU tersebut tak
sepenuhnya dilaksanakan UIN Jakarta.
Meski terhitung sudah
lama menerima pendaftaran bagi mahasiswa difabel, UIN Jakarta hingga kini belum sama sekali
menyediakan sarana dan prasarana bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. “Kita akui, memang kampus ini
belum memfasilitasi mereka (mahasiswa difabel),” ujar Wakil Rektor (Warek) II Bidang Administrasi Umum,
Amsal Bakhtiar, Sabtu (30/6).
Amsal meyakini, tak adanya fasilitas di hampir semua
gedung disebabkan kelalaian pihak kampus. “Mungkin lupa, waktu itu enggak ada
yang mengingatkan untuk menyediakan fasilitas bagi difabel,” lanjutnya. Meski
begitu, Amsal mengatakan pihaknya sudah berencana untuk menyediakan semua
fasilitas bagi para mahasiswa difabel di gedung-gedung baru yang masuk dalam master
plan UIN Jakarta.
Berbeda dengan Amsal, Warek I Bidang Akademik, Muhamad Matsna
mengatakan, terkait fasilitas khususnya di bidang akademik, pihak kampus tak bisa
sepenuhnya memfasilitasi. Hal itu, kata Matsna, selain UIN Jakarta belum banyak
menerima mahasiswa difabel, juga karena faktor biaya. “Silahkan kuliah di sini,
tapi dengan fasilitas seadanya,” katanya, Selasa (1/7).
Berkaca dari UNJ
Sementara itu, sejak tahun 2010 lalu, Universitas
Negeri Jakarta (UNJ) sudah serius menangani para mahasiswanya yang berkebutuhan
khusus. Beberapa fasilitas pun sudah mulai diadakan. Mulai dari fasilitas
penunjang akademik seperti buku-buku braille, maupun fasilitas di tempat-tempat umum
seperti huruf-huruf braille di lift, toilet, dan lift berbunyi. Bahkan, UNJ
sudah menyediakan ruangan khusus untuk mahasiswa difabel di Perpustakaan Utama.
Beberapa fasilitas yang disediakan UNJ, bermula dari
tuntutan para mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Mahasiswa Peduli
Disabilitas sejak tahun 2007. Meski jumlah mahasiswa penyandang difabel di UNJ
masih kurang dari 50 mahasiswa –sama halnya dengan UIN Jakarta –namun, mahasiswa
tetap menuntut penyediaan fasilitas agar segera diadakan. “Alhamdulillah,
akhirnya kampus merespons,” ujar Ridwan, salah satu anggota komunitas itu, Rabu
(2/7).
Menanggapi hal itu, pengamat pendidikan UIN Jakarta,
Rusydi Zakaria mengatakan, fasilitas untuk mahasiswa difabel semestinya perlu didorong
pemerintah dengan lebih serius. Pemerintah, kata Rusydi, perlu menurunkan
peraturan tegas agar kampus lebih serius memfasilitasi mahasiswa berkebutuhan
khusus.
Thohirin