Oleh: Martin*
Pagi baru beranjak dan embun baru saja menghilang. Itu terjadi di
salah satu belahan bumi yang kemudian, entah kesepakatan siapa, kita menyebutnya Ciputat. Seorang lelaki
bertelanjang dada telah siap dengan persenjataannya, segelas kopi dan sebungkus
rokok “basa-basi”. Tapi di pagi yang cerah itu, tidak nampak lelaki itu hanya
sekadar mau menemani pagi. Di tangannya, tergenggam pena dan sebuah buku
catatan harian yang tak boleh dibilang baru.
Tampak raut wajahnya menyimpan pikiran keras. Gejolak batin harus
segera ditumpahkan pagi itu. Benar saja, dia lalu memulai sebuah kalimat
pembuka: “Belakangan ini hari-hariku di kampus berjalan tak seriang dulu.”
“Kemegahan dan kebesaran kampus UIN, yang dulu mampu memukauku,
menggerakkan seulas senyum di bibir dan menggodaku dengan harapan-harapan indah
masa depan. Kini rasanya bagiku, bayangan itu terlampau jauh. Bayangan-bayangan
itu tetaplah bukan kenyataan dan tidak mampu memulihkan suasana kejiwaanku di
sisa-sisa penghabisan masa perkuliahan.”
“Apa yang tampak di depan mata hari ini adalah bagaimana
secepat mungkin menyusul teman-temanku yang telah hilang entah kemana. Suatu
harapan yang lebih realistis ketimbang godaan-godaan keindahan tiga tahun silam.”
Lelaki itu terhenti sejenak. Ada yang terlupa, dia belum menyulut rokoknya.
Pena digenggamannya terpaksa diistirahatkan. Lalu dia masuk ke dalam kamar
mencari-cari korek api, lupa tempat menaruhnya semalam.
Tak lama dia keluar lagi. “Memang kondisi fisik lingkungan dan
bangunan kampusku telah banyak berubah,” tulisnya setelah satu hisapan
rokok dan satu seruputan kopi. “Beberapa gedung memang telah mendapat
pembenahan secukupnya. Aku sendiri sudah terbiasa merasakan gedung yang
berbeda-beda. Pernah kuliah di gedung psikologi, farmasi, dan terakhir gedung
perpustakaan pasca sarjana sebelum akhirnya memakai gedung FISIP yang baru.”
“Aku pun juga telah merasakan berbagai perubahan kebijakan
kampus. Misalnya, soal kebijakan parkir yang mulai berbayar meski sempat
beberapa kali memperoleh protes dari mahasiswa --(sekarang ganti lagi
kebijakan baru; tiket berlaku sekali masuk meski juga tak mencegah adanya
kehilangan), serta kebijakan-kebijakan kampus lainnya.”
Lelaki itu terhenti. Matanya memperhatikan kalimat demi kalimat
yang baru saja meluncur bebas dari pikirannya. Matanya terhenti pada kalimat
soal kebijakan parkir. Kini dia bimbang antara meneruskan atau me-ngubah
kalimat bernuansa sindiran itu. Ah, desahnya, apa boleh buat. Aku menulis
kenyataan apa adanya, tidak mengurangi atau melebih-lebihkan. Setelah merasa
cukup, dia melanjutkan lagi,
“Tapi bukan itu yang mengganggu pikiranku. Melainkan jadwal
perkuliahan masih begitu padat. Kenyataan ini memaksaku menghabiskan hari-hari
untuk bangun pagi, ke kampus, mengikuti perkuliahan dari pagi sampai sore,
pulang ke kosan, mengerjakan tugas, main-main sebentar dan mengambil istirahat
secukupnya untuk menghemat energi demi
kuliah di hari berikutnya.”
Kenyataan dalam penggalan-penggalan paragraf itu mungkin terasa
lumrah. Tiga tahun lalu, waktu dia menyandang gelar mahasiswa baru. Ketika itu,
orang-orang yang dia temui ialah teman-teman seangkatannya. Mereka memanggil
namanya dengan lepas, dan tak terasa jarak kaku antara mereka. Tapi, suasana
perasaan menjadi berbeda ketika itu terjadi saat ini.
“Pada saat mana?”, tulisnya. “Kawan-kawanku bergiliran
menghilang. Satu persatu sibuk dengan proposal dan skripsi. Sesaat tampak di
kampus untuk sekadar bimbingan secukupnya, kemudian sidang. Lantas hilang lagi
entah ke mana. Sampai tiba hari di mana aku harus mengucapkan selamat. Dengan
senyuman, kesabaran, dan menikam gejolak perasaan: selamat kawanku, kau telah
diwisuda. Sekarang kau sarjana.”
Laki-laki itu memberi tekanan khusus pada kalimat terakhir. Dia
tahu impiannya sekarang tertuju pada kata terakhir itu, dia harus cepat-cepat
lulus. “Sementara aku terus bergelut dengan rutinitas kampus, aku harus
berpapasan dan berinteraksi dengan mahasiswa baru. Setiap kali berpapasan,
mereka memanggilku “bang” atau “abang”. Sebuah nama baru yang melekat padaku
belakangan ini. Bagi mereka, mungkin itu sapaan terbaik pada senior dari
seorang yang merasa dirinya junior. Tapi bagiku, itu terasa semakin menegaskan
kenyataan aku sudah terlalu tua di kampus.”
Pikirannya kini terlempar pada tiga tahun lalu, masa awal
perkuliahan. Seorang anak lelaki polos masuk kelas, datang tepat waktu meski
tidak jarang datang terlambat. Dia mengambil tempat di bagian depan, kadang
tengah atau belakang, tanpa peduli menjadi pusat perhatian atau tidak sama
sekali. Lalu dia bertanya lepas dan penuh percaya diri, dan tak jarang
mengundang tawa seisi kelas karena mengajukan pertanyaan-pertanyaan konyol.
Berdebat dengan dosen demi menunjukkan eksistensi meskipun “ngelantur”, jauh dari pokok
pembahasan atau mengutip teori yang keliru. Laki-laki itu tak peduli. Bahkan
baginya, pengalaman itu memiliki kesan dan keindahan tersendiri.
Itu terjadi kurang lebih tiga tahun lalu. Namun sekarang, di sisa
penghabisan kuliah ini, di kelas yang tak lagi duduk berdampingan dengan
teman-teman seangkatannya --melainkan dengan adik kelas, kejadian itu tak perlu
terulang lagi, pikirnya. Cukuplah itu jadi masa lalu yang indah dan
mengesankan.
“Sekarang” tulisnya, “aku harus masuk kelas tepat waktu
agar tak menjadi pusat perhatian karena datang terlambat. Aku harus memilih
pertanyaan yang lebih terdengar berkualitas dan elegan, atau diam. Aku juga
harus memilih tempat tertentu, agar tak terlalu menjadi pusat perhatian dosen.
Tetapi sekali terlihat dosen atau ditunjuk untuk memberi argumen, tak ada
tindakan yang lebih baik kecuali memberikan argumen terbaik dan penuh
kehati-hatian. Karena itu, aku harus meluangkan waktu beberapa menit untuk
membaca sebelum masuk kelas.”
Dua batang rokok telah habis. Secangkir kopi telah kehilangan
aroma hangatnya dinikmati udara pagi yang dari tadi mengintipnya. Matahari kini
beranjak makin tinggi dan menyengat kulit legam lelaki itu. Aku mengerti,
ucapnya sunyi. Dia mengajakku untuk mengakhiri cerita yang mungkin menjadi
panjang bila aku diamkan.
Ciputat, 17
April 2014
* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik