![]() |
Suasana diskusi antara satpam dan pihak rektorat di Ruang Diorama Auditorium Harun Nasution, UIN Jakarta dalam aksi damai menolak masuknya militer di sektor kampus, Kamis (21/4). |
Demi meningkatkan kualitas sistem keamanan di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, rektorat berencana
mengubah manajemen pembinaan satpam dengan melibatkan anggota militer.
Rencananya, anggota militer ini berfungsi memberikan pelatihan dan pengawasan
terhadap kinerja satpam. Hal ini pun menimbulkan isu adanya militerisasi di
kampus UIN Jakarta. Bahkan, pada 21 April lalu, satpam UIN Jakarta melakukan
aksi damai sebagai bentuk penolakan masuknya militer di sektor keamanan kampus.
Sebanyak 81 satpam yang bertugas di kampus UIN Jakarta, secara
tegas menolak adanya campur tangan militer pada pengelolaan satpam. Hal ini
dikarenakan adanya aturan-aturan baru yang tidak bisa disepakati oleh satpam.
Salah satunya penambahan jam kerja yang awalnya dalam satu sif 8 jam menjadi 12
jam.
Menurut kepala satpam UIN Jakarta, Satori, penambahan jam kerja
tersebut seharusnya dihitung sebagai lembur karena telah melebihi porsi kerja
yang semestinya. Ia menilai, rencana rektorat ini terkesan tiba-tiba dan mengagetkan
satpam. Sebelumnya, kata Satori, tidak pernah ada musyawarah dengan pengurus
satpam terutama kepala satpam.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Rektor (Warek) II Bidang
Administrasi Umum, Amsal Bakhtiar mengatakan, pihaknya belum benar-benar mengesahkan
rencana pembinaan satpam tersebut. “Jika satpam bekerja lebih dari 8 jam, yah
bisa saja kelebihannya dihitung lembur,” tuturnya, Jumat (23/5).
Amsal menegaskan, pembinaan tersebut hanya berupa pelatihan dan
pengawasan terhadap kinerja satpam oleh pihak yang lebih profesional, dalam hal
ini anggota militer. “Pengawasan seperti itu dilakukan karena pihak kami belum
bisa mengawasi kinerja satpam terus menerus,” tuturnya. Amsal melanjutkan,
secara pelan-pelan pihaknya akan tetap melakukan pembinaan tersebut kepada
satpam.
Meski hanya berupa pembinaan, Satori mengatakan ia dan
rekan-rekannya akan tetap menolak adanya pembinaan dari anggota militer atau
pihak lain. “Pokoknya untuk saat ini, jika tetap ada tawaran seperti itu kami
akan menolak,” ujarnya tegas, Jumat (16/5).
Satori juga meragukan keahlian pihak militer dalam mengelola
keamanan kampus. Apalagi, mereka belum pernah memegang keamanan di wilayah
kampus. “Cara menjaga keamanan di kampus itu lebih rumit jika dibanding dengan
mal,” tambahnya.
Sehubungan dengan itu, Amsal menjelaskan, pihak yang akan membina
satpam bukan berasal langsung dari organisasi militer, melainkan dari salah
satu perusahaan penyedia jasa petugas keamanan, PT Citra Garda Mandiri.
“Rektorat sudah merekrut satpam (outsourcing) dari PT Citra Garda
Mandiri untuk bertugas di lingkungan Student Centre (SC),” katanya.
Salah satu satpam yang bertugas di lingkungan SC, Kiki Riyandi
menyatakan, meski dirinya berada di bawah pembinaan militer, namun tidak ada
aturan-aturan kemiliteran yang diberlakukan. ”Pembinaan satpam (non outsourcing)
oleh anggota militer hanya akan berpengaruh pada kedisiplinan, komitmen,
ketepatan waktu, dan ketegasan satpam dalam bertugas,” ungkap Kiki, Rabu
(14/5).
Terkait hal ini, bukan hanya satpam yang melayangkan protes kepada
rektorat, mahasiswa pun sempat
melakukan aksi demonstrasi di depan gedung rektorat. Salah satunya, Muhammad
Ahsan. Mahasiswa yang menjadi koordinator lapangan dalam aksi tersebut, mengaku
khawatir akan adanya militerisasi di kampus.
“Kampus kan harus netral, tidak boleh ada intervensi militer atau
partai politik,” katanya, Jumat (23/5). Bukan hanya itu, ia juga mengatakan,
khawatir jika satpam yang sekarang diganti oleh satpam baru yang sudah
mendapatkan pendidikan dari anggota militer.
Berkenaan
dengan hal itu, Kepala Bagian (Kabag) Umum, Ali Meha angkat bicara. Ia
menjelaskan, tidak akan ada satu pun personil satpam yang diganti. “Kami hanya
akan melakukan perbaikan secara manajerial. Tidak akan terjadi militerisasi di
kampus, kami tidak butuh hal itu,” pungkasnya, Jumat (16/5).
(Erika Hidayanti)