Dalam perjalanannya sebagai rektor, Prof. Komar
mengatakan, ia dan kawan-kawan di pimpinan kampus tidak hanya memikirkan UIN
Jakarta, tapi juga memikirkan IAIN, UIN, dan STAIN di kota lain. “Apa yang
dianggap baik di sini (UIN), kami ingin bagi dengan kampus lain,” katanya
kepada reporter LPM INSTITUT, Muawwan Daelami, Rabu (21/5).
Kepada INSTITUT, Prof. Komar juga menyampaikan pandangannya
terkait kondisi UIN Jakarta di masa kepemimpinannya. Berikut petikan wawancara
lengkap reporter LPM INSTITUT dengan pria kelahiran Magelang 18 Oktober
1953 ini.
Bagaimana Anda melihat kondisi UIN saat ini?
Saya melihat dan merasakan, saat ini UIN sudah menginjak tahap
ekstensi dan konsolidasi. Ekstensi dalam artian sebuah perluasan
program-program keilmuan yang ditandai dengan munculnya fakultas-fakultas baru.
Juga ekstensi dari pesan ajaran Al-Quran yang mengintegrasikan antara ilmu
agama dan umum.
Lebih dari itu, UIN juga sudah berada pada tahap konsolidasi atau
pembenahan di sektor administrasi kefakultasan, layanan, dan budaya. UIN juga
sudah merambah ke tahap inovasi. Sebab, saya melihat dunia keilmuan dan dunia
kampus mengalami persaingan yang begitu ketat.
Meski begitu, UIN tetap memperhatikan, mengakomodasi, menjaga, dan
mengakar pada tradisi-tradisi masyarakat bawah dan tradisi pesantren. Di sisi
lain, kita (UIN) juga harus mengikuti standar-standar pemerintah. Karena itu,
UIN menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi luar. Posisi luar inilah yang sedang saya amati sekarang.
Apakah kondisi UIN saat ini sesuai dengan visi misi Anda?
Sebenarnya, visi misi itu milik bersama. Baik partai, agama,
ataupun perguruan tinggi, semua visi misinya berada jauh di depan. Untuk
mencapai ke arah sana, UIN tidak bisa hanya mengandalkan rektor yang menjabat
satu sampai dua periode saja. Namun yang terpenting, siapapun pimpinannya, dia
harus bekerja mengikuti visi misi, motivasi, aturan-aturan pemerintah, dan
tradisi keilmuan yang ada.
Sebenarnya, apa tujuan utama yang ingin dicapai UIN di era
kepemimpinan Anda?
Sebagai rektor, tentu, tujuan utama saya memajukan UIN. Saya juga
harus setia dan taat kepada visi-misi lembaga. Makanya, saya menjaga
independensi kampus dengan cara tidak ikut partai apa pun.
Selama Anda menjabat sebagai rektor, adakah capaian-capaian yang
belum terwujud?
Kalau berbicara capaian, biarlah orang lain yang menilai.
Lantas, bagaimana dengan proyek Master Plan, apakah akan
tetap berlanjut?
Master Plan itu perencanaan besar untuk memajukan UIN. Tapi sayangnya, kampus
ini terlalu sempit untuk ukuran mimpi kita sebagai the best
university. Coba saja bayangkan, Indonesia negara dengan penduduk muslim
terbesar, tapi tidak punya universitas Islam yang bertaraf internasional. Kan
memalukan.
Mestinya, kita dan pemerintah bersama-sama mendukung Indonesia
agar memiliki universitas Islam yang bertaraf internasional. Terserah
universitasnya mau ada di Jogja, Jakarta, atau Malang, mana saja. Semakin
banyak universitas Islam bertaraf internasional, semakin baik. Kampus kita
(UIN) masih jauh dari standar.
Menurut Anda, seperti apa langkah konkret yang dibutuhkan UIN
untuk mencapai level universitas Islam bertaraf internasional?
Kalau langkah konkret, bagi saya bertahap. UIN butuh waktu untuk
mewujudkan itu. Karena yang terpenting, selama ada planning, ada
komitmen moral intelektual, integritas, dan komitmen kebangsaan, cita-cita UIN
bisa terwujud.
UIN Jangan terjebak pada tarik-menarik golongan dan politik.
Kampus ini merupakan lembaga keilmuan dan lembaga moral, jangan sampai terbawa
oleh kepentingan kelompok tertentu. Saya ingin, ke depannya UIN lebih
profesional atas dasar integritas dan keilmuan bukan lagi atas dasar warna
partai.
Kalau mereka (para pejabat kampus) aktif di organisasi masyarakat,
silakan saja. Tapi, sebagai lembaga
keilmuan, yang perlu ditonjolkan adalah integritas dan keilmuan,
profesionalisme dan pengembangan ilmu, serta menjadikan UIN sebagai pusat
peradaban dan pusat ilmu.
Menurut Anda, sosok rektor seperti apa yang dibutuhkan UIN ke
depan?
UIN membutuhkan sosok yang bisa memahami dan memperjuangkan
cita-cita awal mengapa UIN ini didirikan, yaitu mendorong agar orang-orang yang
memiliki basis keagamaan juga memiliki penguasaan ilmu pe-ngetahuan umum dan
kemampuan teknokratik, yakni santri ilmuan dan santri teknokrat. Ke depannya,
baik dekan maupun rektor harus bisa menjaga komunikasi dan hubungan baik dengan
masyarakat dan umat Islam. Dia juga harus memiliki kemampuan dalam
mengembangkan kerjasama dengan universitas lain baik yang ada di dalam maupun
luar negeri.
Di pengujung masa jabatan sebagai rektor, apa pesan Anda untuk
rektor UIN yang terpilih nanti?
Saya ingin, siapapun pimpinannya, dia bisa tetap menjaga
independensi kampus, harga diri kampus, dan bisa membawa kampus ini pada
pergaulan internasional dan nasional, sehingga orang-orang respect pada
UIN. Karena yang terpenting, bagaimana UIN Jakarta bisa disegani keilmuannya
dan independensinya. Saya juga ingin, pimpinan UIN ke depan bisa menjaga apa
yang telah terjalin selama ini. Entah hubungan dengan barat ataupun timur, itu
harus dijaga.
Sejauh ini sudah beredar nama-nama bakal calon rektor, apakah Anda punya calon favorit?
Kalau saya sih enggak ada, siapa saja terserah. Biarkan
komunitas kampus, guru-guru besar kampus yang menentukan siapa yang akan
menggantikan saya. Saya yakin, mereka punya pemahaman tersendiri. Apalagi, di
sini banyak orang pintar yang bisa memimpin kampus ini.
Setelah masa jabatan sebagai rektor berakhir, apa yang akan Anda
lakukan?
Habitat asli saya itu guru, dosen, dan aktivis sosial. Rektor itu
hanya selingan. Jadi, kalau masa jabatan rektor sudah habis, yah, saya
akan tetap bergerak di bidang pendidikan dan keilmuan.