Oleh: Anom B Prasetyo*
Andri Sobari
alias Emon, 24 tahun, menjadi monster menakutkan bagi masa depan anak-anak.
Seorang buruh pabrik di Sukabumi, Jawa Barat, ini diketahui melakukan kekerasan
seksual terhadap lebih dari 140 anak-anak di kampungnya, sepanjang 2013 hingga
27 April 2014. Korban Emon rata-rata berusia 13 tahun ke bawah.Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan, jumlah korban Emon bakal
terus bertambah. Kelakuan Emon mendorong Pemerintah Kota Sukabumi menetapkan
kasus ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Sebagai tindak kejahatan luar
biasa, kasus ini mesti ditangani secara khusus karena sangat kompleks dan
membutuhkan waktu lama.
Hasil
pemeriksaan kejiwaan dari tim Kepolisian Daerah Jawa Barat, Emon melakukan
aksinya dalam kondisi sadar. Selain itu, ia diidentifikasi mudah terangsang
hasrat seksualnya secara berlebih. Sejak berusia 7 tahun, Emon gemar menonton
video porno dan menjadi korban sodomi di usia 11 tahun. Pengalaman sebagai
korban membuatnya menderita trauma dan mendorongnya untuk melakukan hal serupa
terhadap orang lain.
Tersangka
paedofil terhadap siswa Taman Kanak-kanak Jakarta International School (JIS),
Zainal, sebelumnya merupakan korban paedofilia William James Vahey. James Vahey
bekas guru sosiologi di JIS yang selama 10 tahun menjadi buron Federal
Bureau Investigation (FBI) karena mencabuli 90 anak berusia 12-14 tahun di
berbagai negara.
Dalam
Undang-undang Perlindu-ngan Anak (UUPA), pelaku paedofil diancam 15 tahun
penjara. Hukuman ini dinilai terlalu ringan untuk sebuah kejahatan yang bisa
membuat korban trauma seumur hidup dan potensial mereproduksi paedofil baru.
Komnas Perlindungan Anak mendorong agar paedofil dihukum minimal 20 tahun
penjara dan maksimal dikebiri. KPAI juga
melontarkan bahwa hukuman kebiri dinilai pantas bagi pelaku paedofilia agar
memberikan efek jera kepada pelaku. KPAI bahkan menyerukan hukuman mati untuk
Emon.
Data KPAI
menyebutkan, selama empat bulan terakhir, telah terjadi kekerasan seksual
terhadap lebih dari 200 anak. Pada 2012, jumlah korban anak yang mengalami
kekerasan seksual sebanyak 256 orang, dan meningkat menjadi 378 orang pada
2013. Jumlah korban kasus serupa diperkirakan meningkat pada tahun ini.
Mayoritas korban kekerasan seksual adalah anak laki-laki, dengan perbandingan
persentase 60 % anak laki laki dan 40 %anak perempuan. Adapun profil pelaku,
hampir semua kasus relatif sama, yakni orang-orang terdekat anak. Selain itu,
pelaku paedofilia juga banyak dilakukan kalangan ekspatriat, terutama di Bali.
Dalam catatan
FBI, kasus paedofilia di Indonesia menempati peringkat tertinggi di kawasan
Asia. Tetapi, hukuman bagi paedofil sangat ringan. Tak bisa dimungkiri, hukuman ringan untuk pelaku
paedofilia membuat Indonesia menjadi surga bagi para pedofil.
Selama ini,
vonis yang dijatuhkan bagi para paedofil terasa mengganggu keadilan publik.
Atas tindakan bejatnya, Emon kini memang telah dijerat Pasal 81 UU PA, dengan
ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Hukuman yang terlalu ringan untuk
predator ratusan anak dan dilakukan dengan sadar.
Hukuman yang
tidak berefek jera hanya akan melahirkan monster baru secara diam-diam.
Rangkaian kejahatan seksual yang mengemuka belakangan ini menunjukkan,
kejahatan ini potensial mereproduksi lahirnya penjahat seksual berikutnya. Para
korban paedofil, pada gilirannya terbukti menjadi monster baru bagi masa depan
anak-anak.
Banyak negara
sudah menerapkan hukuman kebiri bagi pelaku paedofilia. Sebagian bahkan
mengebiri para pelaku pemerkosaan. Dalam penerapan hukum bagi paedofil,
Indonesia masih jauh tertinggal dibanding Malaysia, Korea Selatan, Polandia,
dan negara kecil di Eropa seperti Moldova.
Hukum Kebiri
Malaysia
sudah menimbang penerapan kebiri kimia bagi paedofil sejak 2013. Dikatakan
pihak berwenang di Malaysia, mereka ingin mengikuti pemerintah Korea Selatan,
yang menghukum keras paedofil demi melindungi anak-anak. Sejauh ini kebiri
kimia dipandang sebagai solusi agar memberikan efek jera bagi paedofil.
Hukum kebiri
sudah diterapkan di sejumlah negara Eropa sejak 2009. Jika dulu kebiri
dilakukan dengan memotong seluruh alat kelamin pria, kini kebiri dilakukan
dengan tindakan bedah atau kimia. Kebiri bedah adalah memotong kelenjar testis
pria, sedangkan kebiri kimia dilakukan dengan memasukkan obat-obatan penurun
hasrat seksual.
Pada awalnya,
penerapan hukuman ini banyak mengundang kritik karena dinilai melanggar HAM.
Jika penerapan hukum kebiri melanggar HAM, lalu hukuman apa yang paling pantas
untuk pedofil, yang juga bentuk pelanggaran HAM? Sebuah sanksi yang diterapkan,
memang bisa menjadi problematika jika potensial melanggar HAM seseorang.
Perlu digarisbawahi, kebiri kimia memiliki jangka waktu tertentu, bisa
berlaku lima atau sepuluh tahun, sesuai kadar kejahatan yang dilakukan. Dalam kasus
kejahatan seksual yang sedemikian marak, bentuk sanksi yang lebih keras harus
segera diterapkan. Jika sebuah sanksi
ditujukan memberikan efek jera bagi paedofil, maka hukum kebiri bisa menjadi
pilihan untuk dipertimbangkan.
Selain
perangkat yuridis yang berefek jera, menciptakan lingkungan yang aman bagi
anak-anak adalah tugas kita semua. Jika melihat kondisi tak wajar di sekitar
lingkungan, masyarakat harus lebih aktif melaporkan ke pihak terkait. Tak kalah
penting peran orangtua, guru, dan keluarga untuk melindungi dan mengawal
perkembangan anak-anak. Antisipasi dan pencegahan dini dimulai dari perhatian
orang tua terhadap anak-anaknya.
Predator
anak-anak harus segera diberantas dan dijadikan musuh
bersama. Jika kekerasan seksual terhadap anak-anak sudah masuk ke ruang kelas,
kini menjadi kian sulit menemukan tempat aman dan nyaman bagi mereka. Bahaya
paedofilia sudah mengintai di mana-mana. Demi membebaskan anak-anak dari
pedofil, hukum kebiri perlu diterapkan di Indonesia.
* Penulis adalah Mantan Koordinator Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ);
Peneliti Lembaga Kajian Kewilayahan dan Pertahanan, Jakarta.