“Tuli..tuli…tuli…apakah Anda
tuli? Tuli…tuli…tuli…apakah
Anda tuli?” seru gerombolan
rakyat kepada pria
berdasi yang berdiri
di atas panggung.
“Maafkan saya. Saya tidak
tuli. Saya hanya tulalit. Semoga Anda
memaafkan saya,” jawab pria
berjas hitam. Rakyat pun
bersorak sembari teriak, “Hore…hore…hore… Kami memaafkan
Anda, Hore…hore…hore!”
Dengan goresan pensil, Dodo
Karundeng menciptakan cerita bergambar
yang dilukis di
atas selembar kertas
yang terbingkai di
salah satu sudut
ruang Galeri Cipta
III Taman Ismail
Marzuki (TIM). Cerita
bergambar itu menciptakan
sebuah pesan, yakni dengan
mudahnya rakyat memaafkan
segala kesalahan sang
pemimpin.
Karya Dodo Karundeng
lain yang cukup
banyak diperhatikan oleh
pengunjung adalah kartun
bertajuk ‘Politik Petualang’
yang dihasilkannya pada
Juni 2013 lalu. Dalam kartun
tersebut, tampak dua orang
raksasa berjas hitam
sedang menghamburkan uang
kepada gerombolan orang
yang berdiri di
bawah raksasa tersebut. Mereka yang
berdiri di bawah
raksasa menadahkan tangan, siap
menangkap uang yang
dihamburkan. Di samping
kepala raksasa, tertulis ‘Politik
Petualang (Pesona Tebar Uang
Langsung)’.
Bagi seniman yang
lahir dan besar
di Jakarta itu, kartun
politik bisa menyimpan daya
ingat yang besar
bagi manusia pada
peristiwa masa lalu. “Dunia
kartun itu membaca
sinyal kebudayaan yang
muncul,” tutur Dodo sembari
menunjuk salah satu
karyanya yang berjudul
‘Gantung Anas’ di
pameran kartun bertajuk
“Tahu Politik” yang
diselenggarakan pada 20 – 30
Mei.
Pada kartun ‘Gantung
Anas’, terlukis pria bertelanjang dada
yang mengikatkan tambang
di kakinya. Pangkal tambang tersebut
tersangkut di pucuk
emas Monumen Nasional (Monas). Lukisan itu
menggambarkan seorang pria
yang terjun dari
atas Monas sembari
berteriak, “Gaaantung Anaaass!”,
kartun yang dihasilkan
pada 10 Maret
2012 itu menceritakan
tentang kasus Anas
Urbaningrum. Karikatur tersebut
mengundang tawa para
pengunjung karena teringat
ucapan Anas, “Kalau saya
korupsi, gantung saya di
Monas!”
Sembari menunjukkan berbagai
karyanya yang didominasi
warna hitam putih, Dodo
menuturkan, kartunis tak
hanya bekerja sebagai
tukang gambar, namun juga
harus punya sikap
dan ideologi. Menurut mantan
wartawan ANTARA ini, kartunis
adalah orang-orang yang
bisa merenung karena
tak hanya bermodal
kertas, tinta, dan pensil.
“Modal utama kami
adalah tahu dan
bisa berbicara hal-hal
besar yang penuh
kritik,” paparnya, Kamis (22/5).
Tak hanya karya
berwarna hitam putih
yang dipamerkan di
TIM. Salah satu karya
Dodo yang sedikit
dibubuhi warna adalah
kartun bergambar seorang
politikus yang berdiri
di atas awan
sembari mengangkat tangannya
dan berucap, “Wahai Tuhanku, aku
bukan orang yang
pantas masuk surga. Tapi
aku tak kuat
dengan api neraka.” Karya tersebut
cukup menyindir sekaligus
memberikan renungan untuk
para petinggi di
Indonesia.
“Kartun harus bisa
menyihir, tapi tidak menipu,” ucap
pria berkacamata itu. Kartun
itu ngawur, lanjut Dodo, tapi
bisa memberi ketakutan
bagi orang-orang yang diserang. Menurutnya, kartun tidak
melukis hal yang
sadis, tapi merupakan pertarungan
ideologi tentang kebenaran.
Dalam melukiskan ideologinya, Dodo
tak perlu banyak bicara. Salah
satu bentuk ideologinya
adalah lukisan kartun
yang dihasilkan pada
akhir 2012. Kartun itu menggambarkan
dua orang yang
sedang berhadapan. Satu orang
berhidung panjang layaknya
Pinokio, sementara di hadapan si Pinokio, berdiri seorang
lagi yang siap
memakan hidungnya. “Ia siap
memakan kebohongan yang
dilontarkan oleh si
Pinokio,” jelas alumnus Institut
Kesenian Jakara (IKJ) ini.
Pameran kartun yang
terpajang di galeri
tersebut mengundang perhatian
para pengunjung. Salah satunya
adalah Sharon Kareena. “Karikatur tersebut
menarik untuk diamati, dipelajari, dan diambil
maknanya karena identik
dengan 2014 yang
dijuluki tahun politik,” papar mahasiswi Institut Ilmu
Sosial dan Ilmu
Poitik (IISIP) ini, Kamis (22/5).
(Gita Juniarti)