Pesatnya perkembangan media sosial memberi peluang bagi para aktor
politik untuk membangun citra dengan memobilisasi pengguna media sosial menjadi
buzzer bayaran. Menurut Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta, Zaki Mubarak, buzzer
bayaran ini dikerahkan untuk membuat pencitraan, membangun wacana, mengcounter
kampanye hitam (black campaign), sekaligus mendongkrak rating
para politisi yang mereka perjuangkan.
Fenomena buzzer bayaran, tutur Zaki, akan ramai pada momen-momen
politik yang strategis, seperti Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Menurutnya, para
aktor politik menyadari bahwa kini, pengaruh media sosial lebih kuat untuk
menggiring opini publik dibandingkan media cetak. Lantaran, pangsa pasar
pembacanya semakin terbatas. Media sosial dianggap lebih efektif digunakan
untuk berkampanye.
“Di media sosial sekarang ini sedang berlangsung perang wacana,
misalnya ada berita yang mengkritik salah satu capres, dalam waktu 2 jam sudah
dikomentari 700 orang,” jelas Zaki. Baginya, perang wacana itu baik, karena
masyarakat bisa memiliki gambaran dan mengetahui track record para
politisi. Zaki menerangkan, negative campaign tidak selalu jelek asal
didukung dengan fakta-fakta.
Hal tersebut, terang Zaki, sebagai penyeimbang dari pencitraan
politik iklan-iklan televisi yang hanya me-munculkan sisi baik. Sayangnya,
ba-nyak buzzer yang mengabaikan koridor etik dan norma-norma demokrasi
dengan memberikan wacana-wacana kebohongan. Tujuannya bukan lagi mencerahkan,
tapi untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Mahasiswa Jadi Buzzer Politik
Salah satu mahasiswa UIN Jakarta yang berprofesi sebagai buzzer
bayaran adalah Donny (bukan nama sebenarnya). Mahasiswa semester akhir ini
sudah tiga minggu menjadi buzzer salah satu capres dan cawapres. “Di
sana disebutnya volunteer, tujuannya ya untuk meraih suara
maksimal dan memenangkan pemilu,” ujarnya, Jumat (16/05).
Ia bercerita, seorang buzzer harus mengelola lima akun
anonim di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Lalu, buzzer
harus share dan mengomentari berita-berita yang positif dan memposting
status tentang kandidat capres dan cawapres yang mereka bela.
Selain itu, seorang buzzer juga harus melindungi kandidat
dari berita dan komentar-komentar negatif. “Intinya, puji, bela, dan serang.
Berita baik kita puji dan komentari, berita yang negatif, kita serang balik,”
katanya. Ia menjelaskan, semakin banyak menyebar berita dan sering menyebut
nama kandidat yang di-bela, akan meme-ngaruhi rating di pencarian Google.
Dalam berkomentar, kata Donny, itu merupakan kreativitas
masing-masing buzzer dalam mengolah kata-kata. Dari profesi ini, Donny
mendapat penghasilan sesuai upah minum regional.
Berkaitan dengan idealisme, Donny menjelaskan dirinya bekerja
secara profesional. “Idealisme cukup di dalam diri saja, kalau untuk meme-nuhi
kebutuhan ya lain lagi,” ujarnya. Terkait pilpres, perusahaan tak pernah
memaksa buzzer harus mendukung capres yang dibela. “Untuk pilihan hanya gue
dan Tuhan yang tahu,” tegasnya.
Buzzer bayaran lainnya adalah Indra (bukan nama sebenarnya) yang sudah
dua minggu bekerja pada perusahaan konsultan politik salah satu capres dan
cawapres. Mahasiswa semester delapan ini dikontrak menjadi buzzer hingga
bulan Juni mendatang. Indra bercerita, ia bersedia menerima tawaran menjadi buzzer,
karena ingin mencari pengalaman dan motif ekonomi.
Senada dengan Donny, ia pun harus membuat akun anonim di berbagai
media sosial untuk dikelola. “Untuk strategi biasanya pakai identitas
pe-rempuan, biar banyak yang follow.”Ia juga mengatakan, para buzzer
dibagi menjadi tiga sif, dari jam 7 pagi- 4 sore, jam 4 sore-12 malam, dan jam
12 malam-7 pagi. Indra menyebut, ada sekitar 50 orang yang bekerja sebagai buzzer
di perusahaan tersebut.
Indra menjelaskan, para buzzer bertugas mencari berita-berita
positif, lalu dikomentari dan share ke media sosial. Setiap akun yang
dikelola, komentarnya harus berbeda-beda. Dalam satu sif, Indra bisa 40 kali share
dan komentar berita. Dari pekerjaan sebagai buzzer¸Indra mendapatkan
penghasilan Rp2 juta per bulan ditambah fasilitas makan dan snack.
Setiap minggunya, Indra harus membuat laporan dalam bentuk screencapture
untuk setiap komentar, share, dan postingan. Indra mengakui,
profesinya ini bertentangan dengan idealisme. “Saya sudah menerima, profesional
saja,”ujar pendukung capres yang ia bela ini.
Terkait mahasiswa yang menjadi buzzer politik, Zaki Mubarak
mengatakan, itu bagian dari pelacuran politik. Patut disayangkan jika mahasiswa
bersedia mengorbankan diri menjual idealisme dan kebenaran demi uang. Lantaran
hal tersebut bertentangan dengan spirit mahasiswa yang mengedepankan moral dan
kebenaran. “Ironi, itu yang disebut pengkhianatan intelektual,” ujarnya.
Zaki menjelaskan, ada tiga faktor perusahaan tertarik menjadikan
mahasiswa sebagai buzzer. Pertama, mahasiswa mempunyai waktu yang cukup,
kedua, honornya lebih murah, dan ketiga, kemampuan mengemas dengan bahasa
ilmiah akademik. Untuk membuat opini-opini palsu juga harus punya keterampilan,
biar seolah-olah benar.
(Anastasia Tovita)