Oleh: Jaffry Prabu Prakoso*
Mulai minggu
ketiga di bulan Mei hingga 50 hari ke depan, Indonesia akan disuguhi hingar
bingar pesta demokrasi. Dari situ, para calon presiden dan calon wakil presiden
akan sering tampil di hadapan publik. Tujuan utamanya untuk mendapat suara dari
seluruh rakyat Indonesia agar mereka terpilih sebagai orang nomor satu di
negeri ini.
Salah satu
yang mereka lakukan ialah memberikan janji-janji jika terpilih sebagai presiden
nanti. Saking semangatnya mencalonkan diri, politikus yang menganggap dirinya
layak sebagai pemimpin ini sudah mempromosikan dirinya setahun sebelum
pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden dibuka.
Dengan
percaya diri mereka bilang berasal dari calon presiden suatu partai dan
mewakili masyarakat Indonesia. Bahkan, ada satu partai yang sudah menentukan
ketua dan wakilnya di pemilihan presiden nanti. Partai tersebut sangat yakin
akan memenuhi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dan mendapatkan
perolehan suara yang banyak dari rakyat.
Dari semua
ini sebenarnya ada yang salah. Tapi di mana salahnya? Masyarakat tidak
menyadari, bahkan media massa nasional pun tak merasakan keganjilan itu. Saat
penulis menyaksikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendatangi kantor Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Senin (19/5) lalu, terpampang spanduk besar yang
bertuliskan, “Selamat datang bakal calon presiden dan bakal calon wakil
presiden.”
KPU
menganggap politikus yang datang untuk mendaftarkan diri sebagai calon presiden
dan calon wakil presiden adalah para bakal calon. Undang-undang nomor 23 tahun
2003 pasal 6 sangat jelas membahas syarat-syarat mencalonkan diri sebagai
presiden dan wakil presiden. Akan tetapi syarat tersebut tidak akan dipaparkan
pada tulisan ini karena akan habis pada penjelasan undang-undang tersebut.
Intinya
adalah politikus yang mengaku sebagai calon presiden dan calon wakil presiden
masih belum berhak menyandang kata ‘calon’. Mereka masih disebut ‘bakal calon.’
Setelah melengkapi persyaratan kepada KPU, mereka baru layak disebut sebagai
calon presiden atau calon wakil presiden. Itu pun masih harus diverifikasi lagi
oleh KPU.
Para
politikus yang menganggap diri mereka calon ini bisa diibaratkan seperti
sepasang kekasih yang mengatakan pada tetangganya sudah menikah. Mereka
mengumbar status tersebut tapi belum menjalani syarat-syarat pernikahan. Kalau
hal demikian terjadi, di saat sepasang ini tinggal dalam satu rumah
berhari-hari bisa disebut kumpul kebo.
Lalu
bagaimana dengan kasus politikus yang percaya diri tersebut? Kata apa yang
cocok selain disebut sedang kumpul kebo? Apa bisa disebut juga telah melakukan
perzinahan politik? Sayangnya dunia politik belum mengenal istilah seperti itu.
Sesungguhnya
hal yang sangat disa-yangkan adalah media massa yang juga ikut-ikutan
menganggap politikus ini sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.
Beberapa media nasional di Jakarta yang penulis amati, mungkin hanya kompas.com
menulis politikus dengan kata ‘bakal calon’. Meski demikian, beberapa kali
masih ditemukan pada media cyber tersebut mengatakan ‘calon’.
Media massa
yang seharusnya memiliki fungsi mencerdaskan bangsa, malah menjerumuskan rakyat
dengan penyebutan status yang mungkin sepele ini. Wartawan memang seharusnya
lebih pintar dalam kasus seperti ini. Kalau saja pers yang di-sebut pilar
keempat demokrasi memiliki pemahaman yang dangkal, betapa kasihannya negara ini
memiliki tambahan masalah.
*Penulis
adalah bagian dari Forum Alumni Jurnalistik UIN Jakarta