Berdasarkan
hasil survey Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), sejak tahun
2012, telah terjadi 216.156
kasus kekerasan terhadap
perempuan di Indonesia. Terkait jumlah
kasus kekerasan tersebut, terdapat 810
kasus pemerkosaan, 880 kasus
pencabulan, dan 14 kasus
pemerkosaan beramai-ramai yang
dikenal dengan nama
gang rape. Usia korban kekerasan
pun beragam, tetapi usia
paling dominan adalah
13-18 tahun.
Hal itu
disampaikan oleh Komisioner
BPKN RI, Susianah Affandi
pada Diskusi Publik
bertajuk Tantangan
dan Prospek Perempuan
Dalam Menjaga Toleransi, Anti Kekerasan, dan Perdamaian Dunia
yang
digelar oleh Himpunan
Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI). Susianah
melanjutkan, pelaku-pelaku
dari tindakan kekerasan
terhadap perempuan terbagi
menjadi tiga jenis.
Pertama,
pelaku dari ranah
personal, seperti suami,
saudara kandung, atau kerabat
dekat. Selanjutnya, pelaku
dari ranah komunitas. “Misalnya, pelaku adalah
majikan, tetangga, guru, atau
tokoh masyarakat yang
dikenal oleh korban,” papar Susianah, Jumat (25/4).
Sementara itu, pelaku
yang cukup sering
disorot oleh media
masa belakangan ini
berasal ranah negara, seperti aparatur
negara dan masyarakat
yang pasif. “Masyarakat membiarkan
kekerasan terhadap perempuan
terus terjadi juga
merupakan pelaku dari
tindakan kekerasan,” ucap perempuan
yang juga bekerja
sebagai sosiolog ini.
Di akhir
diskusi publik tersebut, Susianah berpesan
kepada seluruh masyarakat
Indonesia, terutama untuk generasi
muda, semua kekerasan adalah
pelanggarn Hak Asasi Manusia (HAM),
apapun alasannya. Jadi, masyarakat tidak
boleh membiarkan kekerasan
terus terjadi. “Ibaratnya,
masyarakat marah ketika
majikan menikah dengan
pelayan perempuan dan
memperlakukan pelayan tersebut
sebagai istri. Namun,
masyarakat diam saja
ketika suami sedang
memperlakukan istrinya sebagai
pelayan,” ujarnya.
Perempuan dan
Politik
Pada acara
Diskusi Publik di
aula lantai 1
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP) tersebut, para pembicara
tak hanya menyampaikan
mengenai kekerasan terhadap
perempuan. Namun, peran
perempuan dalam kancah
politik pun ikut
dikupas.
Menurut aktivis
perempuan, Fahira Fahmi Idris, gerakan feminisme
di Indonesia berhasil
mengangkat kedudukan perempuan
di kancah politik
secara legal. “Buktinya, kini dalam
UU Partai Politik
dan UU Pemilu, sekurang-kurangnya harus
ada keterlibatan perempuan
minimal 30% dalam
mengisi alokasi kursi legislatif,”
jelas anggota Dewan
Perwaklan Daerah (DPD) ini, Jumat (25/4).
Sayangnya,
masih banyak masyarakat
yang belum bisa
menerima perempuan terjun
ke ranah politik
dan kelak menjadi
pemimpin masyarakat di
masa depan. “Bagi saya, keterlibatan perempuan
dalam kehidupan politik
bukan semata pada
ukuran kuota keterwakilan, tetapi yang
lebih penting adalah
kualitasnya yang dapat
mentransformasikan spirit feminisme ke
dalam kebijakan regulasi
yang pro rakyat,” tegas alumi
Universitas Indonesia (UI) ini.
Senafas dengan
Fahira, Pakar Feminisme Indonesia, Husein Muhammad menyampaikan, hak-hak politik
kaum perempuan telah
termaktub dalam Al-Qur’an, salah satunya
At-Taubah ayat 7. Ayat
tersebut dapat dipahami
sebagai gambaran tentang
kewajiban melakukan kerja
sama antara lelaki
dan perempuan untuk
berbagai bidang kehidupan. Salah satu
bidang kehidupan tersebut
bisa berupa pekerjaan
politik.
Direktur Institut
Fahmina ini melanjutkan, kepemimpinan seharusnya
tidak ditentukan oleh
jenis kelamin, namun ditentukan
oleh kualitas pemimpin
tersebut. “Jangan memandang
perempuan sebagai makhluk
kelas dua, karena mereka
sesungguhnya makhluk yang
dimuliakan oleh Tuhan,” tutupnya.
(Gita Juniarti)