![]() |
Banner acara Goes to Campus terpampang di depan Gedung FKIK. |
Pada
edisi XXVI/ Juni
2013 Tabloid INSTITUT menyajikan
headline
yang cukup
mengejutkan,
yaitu perihal rokok masuk
kampus.
Menurut saya, ada beberapa tulisan yang menarik perhatian. Salah satunya,
tulisan Nur Azizah yang berjudul Buah Si Malakama Beasiswa Djarum.
Sebagai mahasiswa linguistik, saya ingin memberikan beberapa analisis
kebahasaan terhadap isi tulisan tersebut. Tujuannya, tidak lain agar
pembaca dapat memahami wacana secara komprehensif terkait konteks yang sedang
berkembang. Terlebih pada
ujaran berikut:
(1)
“Kita hanya mengambil beasiswanya, bukan rokoknya. Rokoknya tetap tidak
boleh masuk.”
(Tulisan Azizah dalamTabloid INSTITUT, 2013:2)
Ujaran
(1) cukup menarik. Sebab, selain terdapat bentuk afirmasi terhadap konteks
“penolakan”, kalimat itu juga mengandung kalimat yang secara semantis menegasikan
kalimat sebelumnya. Ucapan kita hanya mengambil beasiswanya, bukan rokoknya merupakan bentuk konfirmasi
penutur terhadap protes yang dilakukan BEM FKIK.
Tapi, kalimat selanjutnya harus kita pahami secara mendalam. Terlebih pada kalimat, srokoknya tetap tidak boleh masuk. Menurut saya, kalimat tersebut
menimbulkan implikatur yang dapat memberikan interpretasi berbeda. Karenanya, untuk menafsirkan
kalimat tersebut, kita harus kembali pada konteks awal, yakni penolakan BEM
FKIK terhadap acara kampus yang didanai yayasan rokok.
Jika
diasaskan pada konteks awal tersebut,
maka kalimat rokoknya tetap tidak
boleh masuk kampus merupakan bentuk afirmasi penutur terhadap
“penolakan”, sehingga dalam ujaran (1)
terdapat dua kalimat yang kontradiktif.
Dari
sudut pandang percakapan, hal ini masih dapat dimaklumi. Tapi, jika dilihat dari
perspektif semantik dan dikaitkan
dengan konteks yang terjadi, maka dapat dipahami kalimat tersebut sengaja
dibangun untuk mengaburkan nilai kebenaran sesungguhnya dari ujaran yang
diberikan penutur.
Dalam
hal ini, penutur mencoba menggiring pembaca agar memahami bahwa pihak kampus
tetap memiliki aturan yang melarang rokok, namun sebatas pada wujudnya saja.
Sehingga, hal-hal yang tidak terkait secara langsung dengan wujud rokok tetap diperbolehkan selama apa yang ditawarkan
dapat memberikan keuntungan bersama.
Meski begitu, penulis menilai kalimat pertama
yang terdapat pada ujaran (1) terlemahkan dan ternegasikan kalimat selanjutnya. Kalimat rokoknya tetap tidak boleh masuk kampus memberikan
implikasi bahwa rokok, secara
keseluruhan, tidak boleh masuk kampus. Sebab, penutur tidak memberikan
informasi spesifik mengenai rokok yang
tidak boleh masuk kampus. Ketiadaan informasi yang secara rinci mengatributi
kata rokok tersebut, dapat
dipahami segala jenis rokok dan hal-hal yang berkaitan dengannya, baik secara langsung
maupun tidak, tetap tidak boleh masuk
kampus.
Konsekuensinya, kalimat kita hanya
mengambil beasiswanya, bukan rokoknya
tidak lagi memiliki nilai kebenaran yang kuat. Sebab, beasiswa yang
dibiayai yayasan rokok dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang berkaitan
secara tidak langsung dengan rokok. Seperti
yang terdapat pada kalimat kedua dalam ujaran (1).
Dengan demikian, dapat disimpulkan kontradiksi yang terdapat pada ujaran (1)
justru memberikan implikasi penutur–dalam hal ini mewakili pihak kampus–sebenarnya
sedang melakukan penegasian terhadap konteks penolakan yang dilakukan BEM FKIK.
Sehingga, penyelenggaraan acara kampus yang disponsori yayasan yang “berkaitan
secara tidak langsung” dengan produsen rokok tersebut bisa dikatakan sebagai
sikap kontradiktif antara komitmen kampus dengan realitas di lapangan.
Muawwan Daelami
Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH)