Sebagai serangga yang hidup di
perairan, keberadaan capung bisa menjadi sahabat lingkungan. Mulai dari sahabat
dunia pertanian sebagai pemangsa dan penyeimbang alami hama tanaman, hingga
sahabat dunia perairan sebagai pengendali nyamuk dan jentik-jentiknya. Namun,
peran dan manfaat itu masih belum banyak diketahui oleh masyarakat.
Perlahan-lahan populasi dan keberagaman capung berkurang senafas dengan kondisi
lingkungan yang semakin rusak.
Pernyataan di atas melatar belakangi
Komunitas Indonesia Dragonfly Society (IDS) mengupayakan kelangsungan hidup
keanekaragaman hayati serangga ordo Odonata ini. Capung juga dianggap sebagai
pusaka alam di wilayah Indonesia, khususnya kota Malang. Hal itu disampaikan
oleh Wahyu Sigit, ketua komunitas IDS ketika
ditemui di sekretariat IDS, Jl.
Gresik no.14, Malang, Jawa Timur.
“IDS berdiri pada September 2010.
Tujuan berdirinya komunitas ini adalah mengupayakan terciptanya kelangsungan
keanekaragaman hayati capung. Apalagi, menurut
Komunitas Pecinta Capung
Internasional, World Wild Dragonfly
Association, capung Indonesia sudah masuk ke daftar serangga yang terancam
punah,” ucapnya, Kamis (4/7).
Untuk menanggulangi hal di atas, IDS
memiliki beberapa misi, antara lain mengusahakan perbaikan habitat capung dan
pemanfaatannya secara kultural, ekologi, maupun ekonomi bersama masyarakat dan
melakukan pendidikan publik agar masyarakat mencintai capung.
Sigit menceritakan, tanggal 29 Maret
2013 lalu, IDS bersama mahasiswa dari Universitas 17 Agustus 1945, Politeknik
Banyuwangi, dan Komunitas Foto Biodivertasi Indonesia (FOBI) menyusuri Sungai Kalongan di Desa Pesucen,
Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur untuk melihat keragaman
capung. “Tujuan IDS, sih untuk
mendokumentasikan serta melakukan studi capung di Pulau Jawa. Selama ini, studi
capung di Indonesia masih sedikit. Apalagi, studi tersebut dilakukan oleh
peneliti asing,” kisahnya.
Ia memilih Sungai Kalongan sebagai
medan penelitian karena sungai tersebut memiliki keragaman capung. Hasilnya, ia
menemukan berbagai macam capung di sana, antara lain berbagai capung jarum (Subordo Zygopetra),dan capung Amphiaschana Ampla yang terdokumentasi
terakhir pada tahun 1940 oleh peneliti asal Belanda.
“Kami ingin mendalami lagi tentang
capung ampla. Januari 2013 lalu, IDS juga menemukan capung ampla di lereng
Gunung Ijen. Empat ekor ampla jantan ditemukan pada ketinggian 1.100 meter di
atas permukaan laut,” kisahnya sambil menunjukkan potret capung ampla warna
merah.
Menurut Sigit, kondisi hutan dan
Sungai Kalongan masih cukup baik untuk menjadi tempat hidup capung. Sebab,
habitat capung adalah sungai yang belum tercemar polusi. Sebagai salah satu
upaya pelestarian capung, ketua komunitas IDS ini mendorong agar pemerintah
Banyuwangi menjadikan Sungai Kalongan sebagai tempat konservasi capung.
“Dengan konservasi capung, maka secara
otomatis kelestarian hutan dan sungai juga terjaga. Sungai Kalongan dan hutan
di sekitar sungai juga bisa menjadi tempat wisata yang mendidik pengunjung
untuk mengenal capung dan melestarikan lingkungan,” jelasnya.
Namun, apabila Sungai Kalongan tidak
dilestarikan, maka perusakan hutan akan mengancam keberadaan capung. Sigit
melanjutkan, ancaman utama adalah masyarakat sekitar yang biasanya membabat alang-alang
dan semak belukar untuk makanan ternak. Padahal, tumbuhan yang dipangkas
tersebut adalah tempat tinggal dan tempat makan capung.
“Masyarakat bersikap seperti itu bukan
karena tidak peduli, tapi karena mereka belum tahu. Kalau hasil penelitian
sudah jadi, kami akan mempublikasikan kepada masyarakat agar mereka menjaga habitat
capung,” ungkapnya dengan nada bersemangat. (Gita Juniarti)