Judul Buku : Lupa Endonesa
Penulis : Sujiwo
Tejo
Penerbit : Bentang
Tahun Terbit : 2012
ISBN :
978-602-8811-87-3
Tebal : 218
halaman
Dari Sabang sampai Merauke, jutaan rakyat membuka mata untuk
mengamati Indonesia saat ini. Kebebasan dalam berpendapat semakin mendorong
rakyat-rakyat kecil untuk menyuarakan keinginannya dan mengkritisi tiap
kebijakan pemerintah yang semakin menyengsarakan rakyat. Tak jarang televisi
menyuguhkan aksi-aksi damai maupun anarkis para aktivis dalam menentang
kebijakan yang menyengsarakan rakyat tersebut. Semua itu tak ada tujuannya selain
membawa Indonesia lebih maju dan semua rakyat hidup sejahtera, layaknya para manusia
yang duduk di kursi kekuasaan.
Rakyat tidak lagi buta dalam menilai antara kebenaran dan
kebobrokan. Banyak cara yang mereka tempuh untuk mengkritisi dan melawan
kebijakan pemerintah yang menyiksa rakyat tersebut. ‘Banyak jalan meuju Roma’,
begitulah pujangga mengiaskannya. Sebagian mereka yang duduk di singgasana
kekuasaan adalah orang cerdik nan licik yang mampu menyembunyikan ‘sesuatu’
yang bukan hak mereka dan menyepelekan kewajiban sebagai pemegang tonggak
pemerintahan Indonesia.
Carut marut kehidupan di negeri ini membuat Ki Jancuk (Sujiwo Tejo)
sedikit geram dan gelisah, sehingga kritik-kritiknya diselipkan dalam tokoh
pewayangan yang ia mainkan. Tak seperti dalang pada umumnya yang harus
mempersiapkan rentetan wayang dan gamelan saat akan mementaskannya, Ki Jancuk
yang memiliki nama asli Agus Hadi Sujiwo ini
memainkan lakon-lakonnya dengan rangkaian kata dalam buku Lupa Endonesa.
Hampir setiap hari di harian Jawa Pos, Ki Jancuk mendalang
wayang DURANGPO (nglinDUR bAreNG POnokawan). Dalam tulisannya itu, ia menulis
hal-hal yang malu-malu, memalukan, atau tak memalukan tentang persoalan negeri
ini. Juga cerita tentang orang-orang yang lupa akan bangsanya, Indonesia.
Dengan bahasa yang terselubung dan melibatkan Ponokawan, Ki
Jancuk meyentil banyak pihak dengan cerdas. Menohok, nyeleneh, tapi
banyak benarnya. Pemikiran-pemikiran yang ia tuangkan dalam pewayangan DURANGPO
tersebut akan membuat malu banyak pihak, terutama yang lupa bahwa dirinya
adalah bangsa Indonesia yang berbudi pekerti luhur.
Meskipun hanya 281 halaman, buku Lupa Endonesa meyibak
keadaan Indonesia saat ini. Tak hanya masalah kritik terhadap pemerintah saja
yang disajikan, melainkan juga sentilan-sentilan tajam mengenai hubungan sosial
rakyat Indonesia yang makin memprihatinkan.
Bagi pembaca yang awam terhadap tokoh-tokoh dalam pewayangan,
mungkin sulit dalam membaca tulisan dalam buku ini. Meski demikian, pembaca
akan mengetahui siapa oknum yang dilukiskan Ki Jancuk dalam tokoh pewayangannya.
Sederhananya, tokoh-tokoh itu digunakan penulis untuk media menyindir saja.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena dapat menginspirasi
kita bahwa untuk menyuarakan hak-hak rakyat dan melawan kebijakan-kebijakan
yang menjepit rakyat, kita tidak harus turun ke jalan. Cukup dengan
tulisan-tulisan yang bisa mengedukasi rakyat Indonesia, kita mampu mengeluarkan
suara. (Selamet Widodo)