Judul Buku : TEOLOGI NEGATIF IBN 'AABI: Kritik Metafisika Ketuhanan
Penulis : Muhammad Al-Fayyadl
Penerbit : LKiS
Tahun Terbit : 2012
ISBN : 979-25-5375-3
Tebal : 276
Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi kerap kali dipandang sebagai sosok yang “kontroversial”
karena pemikiran dan spiritualitasnya di luar mainstream pemahaman umat
Islam. Doktrin wahdatul wujud dianggap sebagai puncak kontroversialnya, karena
“mengganggu” kesadaran dan kemapanan teologi mayoritas. Dalam doktrin ini pula,
Ibn ‘Arabi disejajarkan dengan barisan sufi yang diasingkan dari komunitasnya,
karena kritis terhadap “kemutlakan” Tuhan.
Memang, pemikiran ketuhanan Ibn ‘Arabi mencoba masuk dalam ranah
filsafat, khususnya wilayah metafisis-ontologis dari konsep ketuhanan. Kita
bisa memahami konsep cara bertuhan dalam buku
TEOLOGI NEGATIF IBN ‘ARABI: Kritik Metafisika Ketuhanan, Muhammad
Al-Fayyadl yang disebut teologi negative. Perspektif ini perlu kita apresiasi
lebih jauh lagi sebagai kritik terhadap basis konstruksi keilmuan kalam maupun
terhadap bangunan dalam konteks agama-agama.
Dalam konteks keilmuan kalam, buku ini mesti ditempatkan
sebagai kritik terhadap basis konstruksi keilmuan kalam, karena wacana
tentang Tuhan masih dipahami dengan cara yang normal. Teologi yang kita kenal
selama ini telah membingkai Tuhan dalam konsep-konsep baku, formal, dan positif,
sehingga menempatkan Tuhan sebagai realitas yang objektif.
Tuhan pada pengertian logos, dalam suatu disiplin ilmu yang
didasarkan pada asumsi-asumsi metafisis tertentu. Oleh karena itu, diperlukan
suatu cara pandang yang baru terhadap terhadap basis konstruksi keilmuan kalam
sehingga wacana tentang Tuhan lebih membumi dalam kehidupan keseharian
umat. Sebab, Tuhan tidak sekadar dipercaya dan diimani, melainakan juga
dihayati, sehingga pada gilirannya umat menemukan formula baru dalam berteologi,
yang menjauhkan mereka dari klaim pengetahuan dan klaim kebenaran tertentu.
Berdasarkan tawaran gagasan di atas, wacana tentang Tuhan dalam
bingkai teologi negatif, seperti dalam buku ini, layak diapresiasi, dan di situ
lah letak keunggulannya. Penulis mendapati Ibnu ‘Arabi bukan sekadar
seoarang sufi besar/salik, tetapi juga seorang teolog yang mumpuni,
dalam artian ia melakukan teoritisasi ketuhanan dengan caranya sendiri. Tuhan
bagi teologi negatif Ibnu ‘Arabi adalah misteri. Ia adalah “Misteri yang
Absolut” (al-ghayb al-muthlaq) (hal. 11).
Selain itu, buku ini juga menemukan kontekstualisasi dalam
perbincangan tentang klaim keselamatan dalam agama-agama atau aliran-aliran
dalam agama. Keberagaman umat di Indonesia akhir-akhir ini dipenuhi oleh klaim
kebenaran, baik oleh aliran tertentu dalam suatu agama maupun oleh agama yang
satu terhadap agama lainnya. Satu sama lain mengklaim sebagai yang paling
benar, paling mewakili kehendak Tuhan, sehingga merasa berhak melabeli sesat
pada aliran keimanan lainnya.
Dari Ibn ‘Arabi, melalui buku ini kita bisa mengkonstruksi ulang
cara pemahaman keberagaman kita, sekaligus menegaskan bahwa ada yang “salah”
dalam cara kita bertuhan dan beragama, karena minimnya perspektif ketuhanan. Dan
buku ini –barang kali—mampu mengisi kekosongan dalam memahami konsep ketuhanan,
sehingga ke depan kita lebih bijak dan toleran dalam kehidupan beragama. (Selamet
Widodo)