![]() |
Seminar Internasional yang bertema Mahdiisme dalam Krisis Multidimensi Global di Auditorium Harun Nasution, Senin (24/6) |
UIN Jakarta, INSTITUT, Mahdiisme merupakan konsep tentang kerinduan manusia akan terciptanya
keadilan pada sistem dan struktur sosial masyarakat. Konsep ini bukan hanya dipercaya
oleh kaum muslimin saja, tapi juga diakui oleh tradisi agama lainnya, seperti
Hindu, Buddha, Kristen, dan Katolik.
Konsep
mahdiisme adalah simbolisasi dari harapan, begitulah yang dikatakan oleh Tokoh
Nahdlatul Ulama (NU), Masdar Farid Mas’udi. Konsep mahdiisme sebagai juru
selamat tumbuh subur di kalangan kaum tertindas. Ia mencontohkan, masyarakat
Jawa percaya dengan adanya Ratu Adil. Hal itu sebagai bentuk ekspresi rasa
penderitaan mereka akibat penjajahan.
Mengenai
bentuk mahdiisme, Masdar memahaminya sebagai suatu sistem. Menurutnya, jika
Mahdi dipahami sebagai sosok, maka akan terjebak dengan mitos. Karena sebagai
sosok, berarti Mahdi harus bisa diterima oleh semua agama dan bangsa. “Dan juga
masa kepemimpinan Mahdi yang hanya 8 tahun, bagaimana bisa mengubah dunia dalam
waktu yang singkat,” tuturnya.
Masdar
menjelaskan, mahdiisme harus ditransformasikan menjadi sebuah sistem. Sistem
ini diharapkan mampu untuk menyelesaikan konflik global. Semua pihak bisa berpartisipasi
dalam menghadirkan mahdiisme pada sistem dan struktur sosial.
Sementara
itu, Tokoh Ahlul Bait Indonesia, Muhsin Labib mengatakan, sebelum meyakini mahdiisme
sebagai sosok atau sistem, seharusnya lebih penting untuk memperjelas
apakah mahdiisme itu mitos atau logos. Jika mahdiisme hanya sebagai
mitos, itu tidak akan menjadi penggerak masyarakat untuk berubah. Namun, jika
dipahami sebagai logos, artinya terdapat alasan yang masuk akal,
sehingga bisa menggerakan masyarakat untuk berubah.
Muhsin
pun menjelaskan, jika agama dipandang sebagai das sein (agama yang
terjadi), orang akan pesimis dan cenderung meninggalkan agama, ketika
melihat kenyataan banyak konflik yang mengatasnamakan agama, seperti teroris,
konflik Sunni-Syiah, dan lainnya. “Semakin gemar orang memakai simbol agama,
semakin sadis juga orang tersebut,” ujarnya.
Ia
mencontohkan, sekarang, orang lebih antusias mendengar motivasi dari para motivator,
karena mereka lebih puas dengan jawaban para motivator terkait permasalahan
hidup, dibanding mendengarkan khotbah di masjid. Muhsin juga mengatakan,
sekarang, orang cenderung lebih menyukai hal-hal yang jauh dari agama. Agama hanya
dijadikan sebagai aksesoris saat acara pernikahan, kematian, dan
lainnya.
Namun,
menurut Muhsin, jika agama dipandang sebagai das solen (agama yang seharusnya), orang akan optimis terhadap agama. Konsep mahdiisme
menjadi sebuah harapan di tengah keadaan dunia yang seolah rusak dan penuh
konflik. Orang akan terus mendambakan nilai-nilai ideal dari agama.
Konsep
mahdiisme bukan hanya ada dalam Islam, Tokoh Agamawan Katolik, Romo Benny
Susetyo mengatakan, konsep juru selamat juga disebutkan dalam perjanjian lama
dan baru, yaitu Mesias. Dalam perjanjian lama dijelaskan, Mesias akan
menjalankan tiga misi, yaitu sebagai raja, nabi, dan imam. Mesias akan
menghadirkan kerajaan Allah dengan membangun sebuah sistem yang adil. Lalu,
melalui perjanjian baru, ia akan menghapus dosa manusia.
Selain
Katolik, konsep mahdiisme juga ada dalam agama Buddha, Agamawan Buddha, Cornelis
Wowor mengatakan, dalam kitab Tripitaka disebutkan, seorang Buddha akan muncul
saat agama telah lenyap dan akan mengajarkan agama seperti pada zaman Siddhartha
Gautama. Menurutnya, sang Buddha sebagai juru selamat mempunyai misi untuk
melenyapkan kebodohan dan nafsu pribadi. “Juru selamat ini adalah hal yang
paling dirindukan oleh kaum Buddha,” tandasnya. (Anastasia Tovita)