Saat ini, media jadi alat
utama sejumlah partai politik (Parpol) untuk mendongkrak popularitas. Tidak
adanya regulasi pembatasan dana belanja kampanye di Indonesia membuat Parpol
tidak segan menggelotorkan dana kampanye lewat media massa, khususnya televisi
(TV). Afiliasi pemilik media dengan politik juga membuat TV semakin diberdayakan
untuk mensosialisasikan Parpol atau calon yang diusungnya pada masyarakat.
Hal tersebut dipaparkan Burhanuddin
Muhtadi, pengamat politik. Menurutnya, hampir 80% anggaran dana kampanye Parpol
dialokasikan untuk membiayai kampanye lewat media massa. Bagi Parpol, cara ini lebih efisien. Namun, ini
membahayakan demokrasi di Indonesia. Masyarakat harus cerdas, lantaran politisasi
informasi dalam bentuk iklan atau pemberitaan berpeluang menciptakan asumsi
yang kabur di masyarakat.
Menurut Burhanuddin, strategi
politik bersifat selektif. Hal positif ditonjolkan, sementara hal negatif
disembunyikan. Ini pengaturan agenda di media massa, membesarkan citra positif
partai atau memberitakan hal negatif partai lain. Ketika dimiliki pengusaha
berafiliasi politik, TV akan dengan
sengaja digunakan sebagai alat propaganda.
TV, lewat frekuensi yang
dimiliki publik memiliki daya sosialisasi kuat untuk membentuk opini
masyarakat. Burhanuddin menuturkan, sejak tahun 2004 masyarakat Indonesia terserang
gejala telepolitics, gejala di mana
TV sangat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memilih Parpol atau calon yang
diusungnya.
Meski demikian, Burhanuddin
optimis sejumlah masyarakat mampu menyaring kecenderungan politis dalam
pemberitaan. Namun, masyarakat golongan ini tidak banyak. Menurut survei Badan
Pengawas Penduduk (BPS), 57% penduduk Indonesia cenderung menerima begitu saja
info politik yang mereka terima.
Untuk menanggulanginya, KPI
bertanggung jawab penuh mencerdaskan masyarakat dalam menyaring info politik
yang diberitakan media. Burhanuddin menambahkan, DPR juga harus membuat Undang-Undang
(UU) Pemilu Legislatif yang membatasi iklan kampanye. “Upaya pemilik media untuk memasukan kepentingan politiknya juga harus
diawasi,” ujarnya.
Burhanuddin mengatakan,
seharusnya pemerintah juga mengatur UU untuk membatasi dana kampanye yang dikeluarkan
Parpol. Dengan begitu kompetisi politik lebih adil. Jadi, mereka dipaksa untuk
adu gagasan, bukan adu finansial.
Namun nyatanya peraturan
pembatasan iklan muncul setelah penetapan sepuluh Parpol peserta pemilu
diumumkan. Sedangkan menurut Burhanuddin, sejak 2009 sudah banyak Parpol mencuri
waktu kampanye.
Senada dengan Burhanuddin,
Rachmat Baihaky, Dosen Sosiologi Komunikasi UIN Jakarta mengatakan, KPI harus
melakukan reformasi UU penyiaran. Menurutnya, media massa itu harus dimiliki
publik, bukan perorangan. Ini penting untuk kehidupan demokrasi di Indonesia,
karena media berpeluang besar untuk dipolitisasi ketika pemiliknya masuk dalam
ranah politik.
Dibanding negara lain,
seperti Australia, politisasi media di Indonesia menurut Baihaky lebih parah.
Pemilik terang-terangan masuk dalam politik. KPI tidak punya ketegasan
menegakkan UU.
Baihaky menambahkan, KPI saat
ini terlalu banyak habiskan tenaga urus program populer, seperti infotaiment. Tetapi
untuk masalah pemilik media yang jelas berafiliasi tidak digubris.
Ketua Lembaga Studi Pers
dan Penerbitan (LSPP) Ignatius Haryanto pun angkat bicara. Menurutnya, ketika frekuensi
TV dipergunakan untuk kepentingan politik, media telah menyalahgunakan fungsi media
massa dan menyalahi UU.
Bagi Ignatius, media seharusnya
bersifat independen. Jika media massa berpihak pada pemilik yang berafiliasi politik, dapat dipastikan publik
akan mendapatkan gambaran yang keliru terhadap fenomena yang terjadi.
Dampak lain politisasi media adalah peningkatan popularitas kelompok
tertentu yang belum memiliki rekam jejak mumpuni secara berlebihan. Kondisi ini
justru memantik persaingan Parpol dalam
kepemilikan media. Padahal Parpol
bukan bersaing untuk membeli media. Parpol seharusnya bertindak cerdas untuk menyerang
lawan dengan program-programnya.
Ignatius menjelaskan, saat ini UU hanya menyebutkan soal pembatasan
kepemilikan silang media massa. Pengusaha atau perusahaan tidak boleh memiliki
lebih dari satu stasiun dari satu jenis media massa di dalam satu satu kota
yang sama. “Misalnya, seorang pengusaha boleh memiliki satu stasiun TV, satu
stasiun radio, satu perusahaan koran di dalam satu kota. Namun, pengusaha
tersebut tidak boleh lagi memiliki stasiun TV di kota tersebut,” tuturnya.
Pakar Komunikasi ini optimis bila regulasi ditegakkan, maka paling tidak
politisasi media di Indonesia tidak akan semarak sekarang. Namun, peraturan
tinggalah peraturan. Menurutnya, lembaga pengawas media saat ini lemah dalam
menegakkan hukum.
Untuk itu, masyarakat harus cerdas dalam memilah pemberitaan dengan tidak mengandalkan
informasi yang datang dari satu media massa saja. Selain itu, masyarakat juga
harus mencari info lain, selain dari media massa. Diskusi dengan sejumlah orang
juga dapat membuka arus informasi kita mengenai dunia politik. “Saya rasa kalau
masyarakat ingin lebih cerdas, rasanya
saat ini kita lebih baik matikan TV,” kelakarnya. (Adea Fitriana)