![]() |
H.A.R Tilaar (konaspivii.uny.ac.id) |
Dalam
UU Perguruan Tinggi No. 22 tahun 1961 untuk pertama kalinnya Indonesia menerapkan tiga fungsi (Tri Dharma) Perguruan
Tinggi. Ketiga fungsi tersebut meliputi pendidikan
tinggi sebagai tempat untuk mengajarkan pengajaran, pendidikan untuk mengadakan
riset, dan pengabdian masyarakat.
Namun,
menurut Pakar Pendidikan
Indonesia, H.A.R Tilaar, Tri Dharma Perguruan
Tinggi dianggap masih kurang pas, lantaran
tidak adanya kebudayaan dalam fungsi tersebut.
Menurut
Tilaar, kebudayaan dan pendidikan memiliki hubungan erat yang tidak bisa
dipisahkan. Meminjam kata-kata Ki Hajar Dewantara, Tilaar mengatakan,
pendidikan dan pengajaran adalah usaha kebudayaan semata. Sedangkan perguruan
tinggi hasil persemaian
benih-benih kebudayaan bagi suatu bangsa.
Berawal
dari kekhawatiran
terhadap hilangnya kebudayaan pada pergururan tinggi itulah yang menyebabkan Tilaar
menawarkan konsep baru dengan sebutan ‘Catur Dharma’ yakni, perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan kebudayaan nasional.
Tilaar
menjelaskan, lembaga pendidikan tinggi tidak saja berfungsi sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan, riset dan pengabdian masyarakat, tapi juga
berfungsi dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan suatu bangsa. “Dengan demikian pendidikan tinggi bisa
menjadi benteng, tempat berpijak identitas suatu bangsa,” jelasnya, di
Universitas Negeri Jakarta, Kamis (21/2).
Tilaar
menambahkan, pendidikan
tanpa kebudayaan akan berakibat pada maraknya jual beli pendidikan. Selain itu,
pendidikan nasional akan semakin kehilangan arah. “Sebagai contoh pendidikan
yang tanpa arah itu adalah world class
university,” ujar
anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pendidikan
tanpa kebudayaan, lanjut
Tilaar, akan mengakibatkan banyaknya pandangan konkordasi yakni, pandangan mengunakan
benchmark (teknik
pengetesan dengan menggunakan suatu nilai standar) negera-negara maju dan kemudian pendidikan
nasional terikat dengan
syarat-syarat internasional.
Dalam
penjabaran Tilaar, peranan kebudayaan di dalam perubahan global akan menentukan
eksistensi suatu
masyarakat dan bangsa. Masyarakat yang kehilangan kebudayaannya akan hilang
identitasnya dan akan hanyut dalam perubahan tanpa jiwa.
Dalam
analoginya, pendidikan
tanpa kebudayaan layaknya sebuh perahu yang diisi para intelek yang semata-mata
menjadikan pendidikan terombang-ambing oleh gelombang globalisasi. Pendidikan
tanpa kebudayaan juga akan menghasilkan orang-orang yang hanya pintar korup.
Parahnya, menurut Tilaar, nilai-nilai budaya diganti dengan nilai-nilai
persaingan, materialisme, fundamentalisme, dan hilangnya nilai-nilai toleransi
yang dibutuhkan di negara
ini. “Apabila ini
dibiarkan maka Indonesia menuju pada akhir hayatnya,” ucap lelaki yang sudah 61
tahun menjadi guru. (Nur Azizah)