![]() |
Fakultas Usuluddin dan Filsafat |
UIN Jakarta, INSTITUT- Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) bekerjasama dengan
Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) sepakat membuka Program
Pascasarjana (S2) Konsentrasi Agama Konghucu di Jurusan Perbandingan Agama. Hal
tersebut sesuai dengan Memorandum of Understanding (MoU) tentang
Penyelenggaraan Program Khusus Pendidikan Sarjana dan Magister.
Penandatanganan MoU dilakukan langsung
Rektor UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat dan Ketua Umum MATAKIN, Wawan Wiratma di
Ruang Sidang Utama UIN Jakarta. “Ini adalah sesuatu yang sangat besar artinya
bagi kami (kaum Konghucu) yang telah termarginalkan selama lebih dari 39
tahun,” ujar Wawan dalam sambutannya, Kamis (7/02).
Menurutnya, MATAKIN memiliki kedekatan
dengan masyarakat muslim dan selama ini sudah mempunyai hubungan baik dengan
UIN Jakarta. "Kita juga ingin tunjukkan kepada dunia bahwa kita dengan
masyarakat muslim itu akur," tandasnya.
Sementara itu, Pembantu Dekan (Pudek)
Akademik FUF Ikhsan Tanggok menjelaskan, MATAKIN belum mempunyai tenaga
pengajar untuk memberikan pengajaran agama Konghucu di sekolah-sekolah,
termasuk perguruan tinggi.
“Maka, ada ide dari Kementerian Agama
(Kemenag), terutama Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) agar MATAKIN bekerjasama
saja dengan Fakultas Ushuluddin. Ushuluddin sudah mengajarkan agama Konghucu
sejak tahun 1960, jadi sudah ada sejarahnya dibanding fakultas lain,” jelasnya,
Jumat (1/02).
Menurut Ikhsan, lulusan pascasarjana
ini dipersiapkan sebagai tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Agama Konghucu
(Setakhong). Senada dengan Ikhsan, Wawan menjelaskan, pengakuan resmi agama Konghucu
dari negara baru datang pada masa pemerintahan Gus Dur di tahun 2000. Gus Dur
mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang larangan agama,
kepercayaan, dan adat istiadat Cina.
Dan baru pada tahun 2006, sesuai Surat
Edaran Kementerian Dalam Negeri, kaum Konghucu bisa mencantumkan agamanya dalam
setiap administrasi kependudukan. Agama Konghucu telah disetarakan dengan lima
agama lainnya yang berlaku di Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik,
Budha, dan Hindu. “Praktis, dari 2006-2013 baru 7 tahun ini kaum Konghucu baru
bisa menikmati haknya secara bebas,” jelasnya.
“Namun, dalam bidang pendidikan,
layanan pendidikan agama bagi siswa beragama Konghucu masih sulit dan minim,
karena kekurangan tenaga pengajar,” jelasnya. Selama ini, sekolah-sekolah umum
belum mempunyai tenaga pengajar khusus agama Konghucu, sehingga masih
mengandalkan para rohaniwan.
Wawan berharap dengan kerjasama ini,
UIN JAKARTA segera bisa mencetak tenaga dosen S2 untuk mengisi kebutuhan di
beberapa perguruan tinggi dan Setakhong. “Pendirian Setakhong sedang dalam
proses, baik perizinan dan status tempatnya,” ujarnya. Sekolah Tinggi inilah
yang nantinya akan menghasilkan guru agama untuk mengajar di sekolah-sekolah. (Anastasia)