Munculnya Peraturan
Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang sertifikasi wartawan menimbulkan
polemik baru di dunia pers, salah satunya dari kalangan Pers Mahasiswa
(Persma).
Menurut Sekjen Persatuan
Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Defy Firman al Hakim. Hadirnya sertifikasi
wartawan semakin membuat posisi Persma remeh di mata permediaan Indonesia
Adanya sertifikasi
wartawan ini pun menimbulkan kekhawatiran bagi Persma. Misalnya, terbatasnya
ruang gerak Persma saat melakukan peliputan di luar kampus, lantaran belum
bersertifikat.
“Kemungkinan dipersulit
ketika liputan di luar kampus itu pasti ada, tapi hak dasar kita sebagai warga
negara adalah mendapatkan informasi tentang apapun di negeri ini,” ujar Defy,
Senin (04/2).
Ketua Umum Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Eko Maryadi, mengungkapkan, Persma tidak
perlu ikut melakukan sertifikasi. “Standar Kompetensi Wartawan hanya
diperuntukan bagi wartawan professional. Sedangkan Persma adalah wartawan
amatir,” jelasnya, Jumat (01/2) di Kantor AJI Indonesia.
Persma, menurut Eko,
merupakan wartawan amatir yang tidak mencari untung dan tidak dibayar. Persma
bekerja karena kecintaannya pada dunia jurnalistik.
Eko menjelaskan, Persma
tak perlu khawatir jika terdapat narasumber yang enggan diwawancarai kerena
status Persma belum bersertifikat. “Jangan terlalu khawatir, tunjukkan saja bahwa
anda pers kampus. Mereka juga paham,” tegasnya.
Senada dengan Eko,
salah satu Tim Penguji Sertifikasi Wartawan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Jakarta (IISIP) Omar Abidin Gilang mengatakan, Persma masih memiliki
kebebasan untuk melakukan liputan. “Jika ingin melakukan peliputan di luar, introduce your self kalau anda dari pers kampus,” jelas Omar.
Sedangkan menurut
Pemimpin Umum LPM Didaktika UNJ, Satrio Priyo Utomo, Dengan tidak adanya
sertifikasi seharusnya Persma bisa memanfaatkan ruang geraknya. Karena Persma
tidak dibatasi kepentingan modal, seperti industri pers.
Menurutnya, narasumber
mau diwawancarai atau tidak, bukan
kerena dia Persma atau bukan. Tapi, bagaimana reporter itu mampu memberikan
keyakinan kalau berita yang diangkat itu penting atas fakta yang mendesak.
Satrio menegaskan yang
harus dikhawatirkan adalah bukan masalah perbedaan antara professional atau
abal-abal, melainkan masalah idealismenya.
“Saya pikir bukan
bicara soal profesional dengan abal-abal. Tapi pada dampaknya ketika ada gagasan
ini, mungkin semua pegiat Persma akan memandang kalau Persma adalah sekolah
jurnalistik. Kalau Persma begitu, hilanglah sudah idealismenya,” ujarnya, Sabtu
(02/2).
Ia menambahkan, Persma
dicari oleh industri pers bukan karena ia mampu menulis dan wawancara dengan
baik. Tapi karena idealismenya. Satrio membagi dua dampak dari adanya sertifikasi
wartawan.
Pertama, dalam skala
mikro, mahasiswa tertarik masuk Persma hanya karena mencari pengalaman guna
menunjang karir. Bukan bicara soal, bagaimana menganggap Persma sebagai alat perubahan.
Kedua, dalam skala
makro, sertifikasi malah mengkerdilkan kerja wartawan yang dianggap sebagai
sebuah profesi. Artinya, usaha mencerdaskan masyarakat (wartawan) hanya sekadar
dipahami sebagai money oriented.
Untuk mengatasi
hilangnya idealisme, Persma mesti mengambil sikap atas isu sertifikasi
tersebut. “Bisa jadi sertifikasi dalih untuk mengontrol kerja-kerja wartawan
sesuai keinginan pemilik pabrik berita (modal),” imbuhnya.
Tak jauh berbeda, Defy
menyebutkan, dampak yang kurang baik sertifikasi wartawan ini adalah ketika
Persma dicap sebagai tempat latihan menulis berita. Kerugian tersebut juga
terjadi kerena dalam agenda perumusan hal-hal yang berkaitan permediaan, elemen
Persma kurang mendapatkan tempat. (Nur Azizah)