Masyarakat dan
pemerintah nampaknya belum menyadari kalau suatu hari akan menghadapi bencana.
Sehingga bencana seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, dan
kebakaran yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa serta kerugian materi tidak
dapat dihindari.
Hal tersebut
diungkapkan Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Sugeng Triutomo. Menurut Sugeng, selama ini
Indonesia masih bersifat responsif dalam menangani bencana. Artinya setelah
terjadi bencana masyarakat dan pemerintah baru merasa tergagap-gagap bahkan
bingung dalam menanganinya.
Berbagai cara
pencegahan bencana seharusnya dianggap sebuah investasi. Menurutnya, latihan menghadapi
bencana jangan disebut upaya pemborosan. “Seperti dianggap menghabiskan uang,
Menteri Keuangan merasa eman-eman,” tandasnya, Senin (29/10).
Ia menambahkan, sebuah
penelitian menyebutkan untuk menekan kerugian enam dolar pada upaya perbaikan
pasca bencana, dapat dilakukan dengan cara menginvestasikan satu dolar pada pra
bencana.
Saat ini BNPB telah
memiliki data lengkap mengenai pemetaan daerah-daerah rawan bencana dari 33
provinsi di Indonesia. Namun, detailnya ada di Pemerintah Daerah (Pemda). Sekarang
seluruh kabupaten sudah memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
“Komitmen Pemda dapat dilihat dari anggaran untuk BNPB,” ucapnya.
Sugeng menjelaskan
mekanisme hubungan antara tiga lembaga BNPB, BPBD dan Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah terhubung secara online. Bila terjadi
gempa, komputer pendeteksi yang sudah disertai sirine akan berbunyi di BMKG
maupun BNPB. Setelah mengetahui letaknya, maka BNPB dan BPBD akan mengirimkan
bantuan dan mengerahkan personil.
Bencana gempa bumi
contohnya, Sugeng menuturkan, sampai saat ini belum bisa terdeteksi lebih dini
atau sebelum terjadi gempa, karena alat atau instrumennya belum tersedia. BMKG
baru bisa memberikan informasi setelah gempa terjadi.
Bagi Sugeng, alat yang
dimiliki BMKG yang berjumlah 160 tidak cukup untuk seluruh wilayah Indonesia.
Di Jepang yang wilayahnya lebih kecil dari Indonesia, sudah memiliki alat lebih
dari 1000. “Semakin rapat, maka semakin baik untuk mendeteksi bencana,”
ujarnya.
Di sisi lain, Kepala
Bidang Data dan Informasi, BMKG Wilayah II, Bambang Suryo Santoso menyangkal
bahwa jumlah tersebut masih kurang. Menurutnya, BMKG sudah menjangkau seratus
persen semua titik rawan bencana di Indonesia.
Titik-titik rawan
bencana tersebut telah dijaga dan dipantau dengan fasilitas satelit teknologi
broadband dengan sensor tanpa awak. Teknologi tersebut mampu mendeteksi segala
jenis gelombang.
Suryo mengakui,
teknologi yang dimiliki BMKG saat ini belum bisa mendeteksi gempa yang akan
terjadi. Namun, setelah terjadi gempa tidak lebih dari lima menit dapat
terdeteksi letaknya. Menurutnya, bila letak epicenter (pusat) gempa terjadi di
lokasi yang jauh dari pantai, maka masyarakat masih mampu untuk menyelamatkan
diri dari bahaya tsunami.
Untuk masalah gempa,
menurut Suryo, BMKG dapat menginformasikan kepada masyarakat melalui saluran
televisi. Tetapi, masih terjadi kesalahan di BNPB, karena BNPB hanya membangun
Sumber
Daya Manusia (SDM) saja, tidak diimbangi dengan pembangunan struktural.
“BMKG alatnya sudah lengkap, BNPB belum ada alatnya,” ucap Suryo, Rabu (24/10).
Untuk menangkap
informasi, BNPB belum memiliki alat. Berdasarkan penuturannya, BNPB hanya
mengandalkan handphone sebagai alat penerima dan penyebar informasi sehingga
terjadi keterlambatan. Seharusnya BNPB membangun sistem Digital Video
Broadcasting (DVB) sebagai sarana komunikasi dengan BMKG.
Tugas dari BMKG
sendiri adalah melakukan pengamatan, yang dibantu oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) dan universitas di daerah setempat. Kemudian melengkapi
peralatan yang dibutuhkan yang disebut pembangunan struktural.
Selanjutnya BMKG
memberikan data-data kepada BNPB mengenai daerah rawan bencana yang akan
digunakan membuat pemetaan daerah rawan bencana oleh BNPB. Sehingga BNPB dapat
menginformasikan kepada masyarakat, begitu juga bila terjadi bencana, BNPB yang
berhubungan langsung dengan masyarakat, ini yang disebut pembangunan kultural.
Cara menghindari bencana
Untuk mengantisipasi
bencana, kata Suryo, masyarakat harus mengetahui cara evakuasi mandiri. Sehingga
dengan mengerti dan mengamati kondisi alam, masyarakat bisa memahami gejala
alam yang terjadi di sekitarnya. Dan masyarakat juga paham untuk tidak
membangun di tempat yang misalnya rawan longsor.
Karena Indonesia
daerah rawan bencana, pun dengan konturnya yang rawan bencana. Maka Suryo
berharap, instansi lain dan masyarakat harus saling bantu. Dan masyarakat
diharapkan dapat serta menjaga peralatan di daerah-daerah seperti tegit (alat
ukur pasang surut), sirine, dan pelampung di laut yang dimiliki BMKG.
Sugeng menjelaskan,
pada dekade abad lalu tahun 1990-2000, dunia melalui Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) mengkampanyekan perubahan paradigma dalam menangani bencana dari
responsif menjadi preventif.
Dari situlah timbul
konsepsi tentang pengurangan resiko bencana. Pengurangan resiko bencana itu
adalah suatu upaya untuk melakukan pencegahan dan mitigasi terhadap
ancaman-ancaman bencana.
Terdapat dua cara
untuk menghindari bencana. Pertama, manusia harus dijauhkan dari lokasi
bencana, contohnya relokasi dari tempat berpotensi bencana. Kedua, bencananya
yang “dipindahkan”, misalnya tidak membuat pabrik nuklir di pemukiman padat
penduduk.
Bila kedua hal
tersebut tidak mungkin dilakukan, kata Sugeng, ada cara terakhir yaitu mitigasi
bencana atau meminimalkan dampak yang ditimbulkan. Mitigasi ada dua macam.
Pertama, mitigasi struktural dengan melakukan pembangunan infrastruktur. Kedua,
mitigasi non-struktural dengan memberikan penyuluhan dan cara-cara untuk
menangani bencana.
Ia menganggap, dalam
penanganan bencana, seharusnya yang diperkuat adalah masyarakat, karena yang
terkena adalah mereka sendiri. “Penelitian di mana pun, 77% gempa Kobe
ditangani oleh masyarakat dan 20% dari luar,” tuturnya.
Masyarakat yang rentan mengalami bencana harus diperkuat melalui
penyuluhan agar memiliki tiga sikap utama yaitu awareness (peduli), knowlegde
(tahu) dan komitmen. (Dewi Maryam)