![]() |
Seorang pengunjung sedang mengamati seni keramik karya Chitaru Kawasaki di Gedung C Galeri Nasional Indonesia, Kamis (4/10) |
Banyak
cara untuk mengungkapkan betapa pentingnya cinta kasih terhadap manusia. Salah
seorang keramikus asal negeri sakura, Chitaru Kawasaki mengutarakannya melalui
tanah liat yang dibuat menjadi seni keramik berbagai bentuk. Karya-karya
tersebut kini terpajang rapi di Gedung C Galeri Nasional.
Melalui karyanya, Kawasaki
ingin menyampaikan, keberagaman manusia dapat disatukan dengan kasih sayang dan
cinta. Guru Besar Emeritus Universitas Seika Kyoto itu mengutarakan, hampir
semua karya yang ia hasilkan berkisar tentang cinta manusia. Gagasan Kawasaki
ini terlihat dalam tanah liat yang dibentuk seperti jalinan temali dalam setiap
karyanya.
Baginya, manusia adalah sesuatu
yang harus dilestarikan. Kawasaki bercerita, kehidupan yang ada sekarang
terjadi karena adanya jalinan kasih sayang yang baik antar sesama manusia.
“Mengapa saya memilih hubungan sesama manusia, ya karena saya adalah manusia.
Kalau saya alien, ya saya pilih hubungan antar alien,” tutur kakek berumur 74 tahun
itu.
Tujuh puluh tahun sudah Kawasaki
menyukai keramik. Kesukaannya tersebut berawal dari seringnya ia melihat
keramik yang digunakan pada acara upacara minum teh di Jepang. Namun, ia
belajar membuat karya dari keramik untuk pertama kalinya ketika duduk di kelas
lima Sekolah Dasar (SD) dan mulai mendalaminya ketika berumur 23 tahun.
Karya
yang ditampilkan dalam pameran yang terselenggara atas kerjasama Galeri
Nasional Indonesia, Japan Foundation dan Bentara Budaya Jakarta (BBJ) ini
berjumlah 37 buah. Untuk menghasilkan karya-karya tersebut, Kawasaki berkutat
dengan sekitar satu ton tanah liat selama lebih dari dua tahun.
Ia
mengakui, memang dibutuhkan kesabaran dan tenaga ekstra untuk menyelesaikan
karya-karyanya. Namun, semua itu bukanlah apa-apa karena menurutnya,
memunculkan ide hingga menjadi karya senilah yang sulit. Yang terpenting dalam
membuat karya seni bukanlah mengenai seperti apa kerumitan karya tersebut atau
berapa lamanya waktu yang dibutuhkan, tetapi tentang bagaimana mengekspresikan
pikiran.
Edih Supardi dari Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK), yang
juga rekan Kawasaki menambahkan, karya seni itu berkaitan dengan kreativitas
menciptakan sesuatu yang baru.
“Dan beliau (Kawasaki) ini sangat
kretif, di usianya yang ke sekian, beliau masih mampu berkarya dengan sangat
bagus,” ujarnya sambil tersenyum ramah. Selain itu, Edih juga menuturkan,
benang merah dari pameran ini sebenarnya semakna dengan silaturahmi dalam dunia
Islam.
Pameran yang bertema “Knot,
Connection, and String Playing” tersebut diselenggarakan pada 28 September-12
Oktober. Banyaknya pengunjung yang datang membuktikan, pameran ini mendapat
sambutan baik dari masyarakat Indonesia. “Dan Bapak merasa senang,” tutur Topan
Tantado, asisten pribadi Kawasaki.
Antusisme para pengunjung pun
terlihat ketika mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak kagum seraya
menunjuk-nunjuk karya seni keramik di depan mereka. “Keren ya, nggak nyangka
juga kalau ini terbuat dari tanah liat,” ucap Eko Didik Sukowati, pengunjung
asal Yogyakarta.
Menurutnya, liukan tanah liat
yang dibentuk seperti jalinan temali di setiap karya dalam pameran juga menjadi
nilai lebih. Di Indonesia, menurut Eko, liukan tanah liat tersebut biasanya
tidak hadir dalam karya seni keramik, namun dalam hasil karya lainnya, seperti
dalam pembuatan tikar.
Sebelum mengakhiri obrolan
hangatnya dengan INSTITUT, Kawasaki pun menilai, seni keramik Indonesia memang
belum setenar seni kontemporer lainnya. Namun, ia percaya, saat ini para keramikus
Indonesia tengah belajar dan beberapa tahun mendatang, mereka akan mampu
menghadirkan karya-karya.(Siti Ulfah Nurjanah)