Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) berencana merombak kurikulum mulai dari tingkat Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Di
tingkat SD, kurikulum akan segera diubah menjadi hanya enam mata pelajaran,
yaitu Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan (PKN),
Matematika, Seni Budaya serta Olahraga dan Kesehatan. Hal
tersebut akan diuji publik mulai awal tahun 2013.
Kemendikbud berharap dengan
penyederhanaan kurikulum itu bisa membuat peserta didik lebih fokus dan
terarah. Dosen Psikologi Pendidikan UIN Jakarta, Solicha M.Psi mengatakan
kurikulum pendidikan dasar saat ini memang memuat begitu banyak pelajaran.
Peserta didik terkesan tahu banyak hal, tapi tidak mendalam dan serba dangkal.
“Semakin banyak yang harus dipelajari, perhatian anak akan terpecah pada banyak
hal dan menjadi kurang fokus,” ujarnya.
Di samping itu, beban mata pelajaran
yang banyak tidak memberikan ruang yang memadai bagi peserta didik untuk
memahami, dan mendalami suatu materi dari berbagai aspek. Jika melihat
perkembangan pendidikan saat ini, beban anak yang bersekolah hampir sama dengan
orang yang bekerja.
Anak bersekolah dari pagi hingga
tengah hari atau sore, lalu pulang sekolah mengikuti bimbingan belajar, les
bahasa asing atau ikut kegiatan ekstrakurikuler. Malamnya, anak mengerjakan
pekerjaan rumah dan belajar untuk hari esok. “Hal mendasar yang seringkali
dilupakan adalah pendidikan itu memanusiakan manusia dan belajar untuk hidup,”
ujar Solicha.
Semua aspek perkembangan anak harus
diperhatikan, baik fisik, kognisi sosial, emosi maupun religiuitas. Anak perlu
diberi kesempatan untuk belajar, bermain, bersosialisasi dengan orang lain dan
melakukan kegiatan yang bisa mengembangkan dirinya. Ini yang seringkali tidak
disadari oleh para pendidik, baik guru di sekolah maupun orang tua.
Tugas mendidik tidak hanya
dibebankan pada guru di sekolah, namun dibutuhkan dukungan dari orangtua dan
masyarakat sekitar. Karena ketika hal tersebut tidak disinergikan, maka anak
akan mengalami kebingungan. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika di sekolah
peserta didik diajarkan untuk berempati pada sesama, sedangkan yang ia lihat
dan rasakan di rumah justru berbeda.
Sementara itu, Guru Besar
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) H. A. R Tilaar menilai hal pokok dalam
pendidikan itu bukan kurikulum, melainkan guru. “Kalau gurunya tidak
dipersiapkan, kurikulum baru itu nasibnya akan sama dengan kurikulum lainnya,”
ungkapnya.
Menurutnya, terlepas muatan
pelajarannya banyak atau tidak, konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) itu sudah bagus. Tetapi, mengapa hal ini tidak dipertahankan dan
sekarang malah mau ganti lagi. “Ganti menteri ganti kurikulum,” imbuhnya.
Selama ini, kurikulum dibuat hanya
di belakang meja, sehingga guru cenderung tidak tahu isi dari KTSP. Menurutnya,
KTSP seharusnya disusun oleh guru karena ia yang mengetahui kondisi peserta
didik.
Saat ini, banyak yang tidak mengerti
apa arti kurikulum. Kurikulum berasal dari kata kurare yang artinya suatu
pacuan, kemudian berkembang menjadi kata kurikulum. Dalam suatu pacuan,
terdapat kuda, joki dan tujuan yang harus dicapai.
Joki yang bertugas mengarahkan kuda
mencapai tujuan. Jika tujuan yang ingin dicapai tidak jelas, betapa berat joki
mengarahkan kudanya mencapai tujuan. “Seperti itulah gambaran kurikulum.
Kurikulum itu tidak harus dipatenkan, ia terbuka dan bisa direvisi,” ujarnya.
Menurut Solicha, selain aspek
kurikulum, pemerintah perlu mempersiapkan guru yang mempunyai kompetensi dan
ketrampilan dalam mengelola kelas serta merancang dan memfasilitasi proses
pembelajaran yang bermutu. Guru harus bisa improvisasi dan mengembangkan
kemampuan bepikir tingkat tinggi, tidak terpaku pada hafalan saja. Jika tidak
peserta didik yang akan menjadi korban.
Di sisi lain, menurut Tilaar
pendidikan saat ini adalah mengadili peserta didik dengan pemakaian
standarisasi. Ia memberikan contoh, Korea Selatan (Korsel) salah satu negara
maju di Asia yang mengadakan ujian nasional sangat ketat. Banyak peserta didik
mengikuti bimbingan belajar agar dapat lulus memenuhi standar.
Dampaknya, banyak peserta didik di
Korsel menjadi stres dan bunuh diri. Sejak tahun lalu, Pemerintah Korsel
melarang adanya bimbingan belajar. “Dalam suatu negara penetapan standar sudah
dibakukan. Pada akhirnya setelah standar itu tercapai akan mematikan
kreativitas peserta didik. Matinya kreativitas berarti matinya suatu
kebudayaan,” terangnya.
Budaya itu selalu berkembang lambat
atau cepat, tapi ketika kreativitas mati, budaya pun akan mati. Guru pun sulit
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, karena terikat dengan kurikulum.
“Apakah pendidikan nasional kita menginginkan ke arah sana? Anak-anak telah
dimatikan kreativitasnya,” katanya.
Selama ini, guru hanya sebagai
pemberi ilmu pengetahuan (knowledge provider) dan peserta didik sebagai
penerima ilmu pengetahuan (knowledge receiver). Tilaar mengatakan, seharusnya
guru dan peserta didik bersama-sama menjadi pembangun ilmu pengetahuan
(knowledge builder).
Solicha mengatakan, banyak
pengetahuan saja tidak cukup, anak perlu diajarkan bagaimana menggunakan
pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka perlu dibangun curiousity
(rasa ingin tahu), kreativitas, kemampuan problem solving, kepekaan sosial,
moralitas, dan lain-lain sejak dini.
Guru perlu kreatif untuk memberikan
pengajaran yang efektif dengan melibatkan siswa untuk menemukan aplikasi dari
pengetahuan. “Guru perlu berjuang lebih keras agar tidak terjebak dengan godaan
persiapan ujian,” jelasnya.
Pendidikan nasional belum mempunyai
arah
Dari hasil penelitian, suatu negara
akan maju jika sekurang-kurangnya terdapat 2% penduduknya adalah entrepreneur.
Entrepreneur bukan hanya di bidang ekonomi, tapi di segala bidang yang bisa
mengubah dan menciptakan sesuatu. Bagaimana untuk membangun 2% entrepreneur di
Indonesia, jika pendidikan nasional hanya menghasilkan manusia penghafal saja.
Pendidikan hanya diarahkan pada
kepentingan nasional. Dari bangun tidur hingga tidur kembali, masyarakat
menggunakan produk asing mulai dari sabun, susu, beras, kendaraan, elektronik
dan lain-lain. “Produk asli Indonesia hanya korupsi, itulah hasil pendidikan
nasional, menghasilkan manusia yang tidak kreatif,” jelas Tilaar.
Semuanya hanya ingin menjadi pegawai
negeri saja, tapi tidak berfikir kreatif bagaimana mengelola sumber daya alam
dan budaya Indonesia yang luar biasa. Jika ditanya kemana arah pendidikan
nasional? Jawabannya belum mempunyai arah.
Dalam teori pendidikan menurut Ralph
W.Tyler, tahap-tahap pendidikan, yaitu tujuan, pengalaman pendidikan,
organisasi pengalaman dan evaluasi. Pendidikan harus mempunyai tujuan yang
jelas, ditujukan untuk siapa.
Menurut Tilaar, pemerintah perlu
merumuskan kembali tujuan pendidikan nasional seperti yang diinginkan
undang-undang, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa bukan hanya mencerdaskan
otak kanan atau kiri saja. Selama ini, pendidikan nasional hanya melihat ke
atas, bukan ke bawah di mana mayoritas masyarakat masih miskin.
Pendidikan nasional haruslah
ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, bukan satu kelompok saja. Pendidikan
harus membuat bangsa ini merdeka secara ekonomi, politik dan budaya. Indonesia
bukanlah bangsa pengekor dan antek-antek asing. Dalam teori pendidikan Paulo
Freire, tujuan pendidikan adalah pembebasan dari kesenjangan dengan kesadaran
kritis.
Sementara itu, Solicha mengatakan
pemerintah perlu memperhatikan aspek konkret, integratif dan hirarkis dalam
menyusun kurikulum anak usia sekolah dasar. Dalam teori cognitive development
dari Jean Piaget, anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret.
Proses belajar anak harus beranjak dari hal-hal yang konkret yakni, dapat
dilihat, didengar, dibaui, diraba dan diotak-atik dengan titik penekanan pada
pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar.
Aspek integratif, artinya pada tahap
usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu
keutuhan, anak belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu,
hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke
bagian demi bagian. Sedangkan hirarkis mengandung makna pada tahapan usia SD,
cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana
ke hal-hal yang lebih kompleks. (Anastasia Tovita)