Anggota Badan Legislatif Nasional (Balegnas)
DPR RI Didi Irawadi Syamsuddin, mengatakan hal-hal mengenai Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) memang kerap kali menjadi permasalahan yang
berkepanjangan di DPR. “Sejak saya berada di DPR tahun 1993 UU KPK selalu bermasalah,”
ujarnya.
Sama halnya dengan draf revisi UU KPK No.30
tahun 2002 yang diajukan komisi III DPR, menuai pro dan kontra. Hal ini karena
dalam draf revisi tersebut terdapat beberapa poin yang dinilai berpotensi
melemahkan KPK. Di antaranya, mekanisme penyadapan yang harus meminta izin
terlebih dulu ke pengadilan, tahap penuntutan yang harus dikoordinasikan dengan
kejaksaan, dan adanya dewan pengawas untuk KPK.
Sebelumnya, Pasal 6 huruf c berbunyi, Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Yang ditegaskan kembali pada pasal
12 huruf a Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan
merekam pembicaraan.
Namun, saat ini penyadapan yang dilakukan KPK
harus melalui proses perizinan pengadilan dengan persetujuan ketua pengadilan.
Hal tersebut tercantum dalam draf revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR.
Terkait permintaan izin tersebut, Didi
menuturkan yang menjadi permasalahan jika hakim yang melakukan korupsi. Hal ini
akan berdampak pada objektivitas hakim dalam memberikan izin penyadapan.
Kendala lain jika harus melalui proses perizinan, menurut Didi yakni keamanan
rahasia penyadapan. Ia mengkhawatirkan akan terjadi kebocoran berita.
Mengenai wewenang penuntutan KPK, dalam pasal 1
ayat 3 berbunyi: Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian
tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun dalam draf Revisi UU KPK yang diajukan ke
Badan Legislatif DPR. Kata penuntutan dihapuskan. Dengan demikian, wewenang
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang telah diselidiki KPK, harus
melalui tahap koordinasi dengan kejaksaan.
Mengenai poin tersebut Didi mengatakan, adanya
penyidikan dan penuntutan tanpa dikoordinasikan dengan kejaksaan lebih efektif.
Hal ini karena sudah banyak kasus-kasus yang masuk meja hijau hasil dari
penuntutan KPK dan itu tidak perlu atas koordinasi kejaksaan.
Kompas edisi 11 November menuliskan, draf
revisi UU KPK dewan pengawas diatur dalam Bab VA. Dengan bunyi, dewan pengawas
adalah lembaga independen yang mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
Dewan tersebut juga dapat menggelar sidang
untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK. Di mana pelanggaran
kode etik tersebut hasil penindaklanjutan dari pengaduan masyarakat. Kemudian
hasil kerja dewan pengawas akan dilaporkan secara berkala kepada presiden.
Meski begitu, Didi dengan tegas menolak poin
tentang pengawas untuk KPK. Menurutnya hal tersebut masih rancu. Mulai
dari siapa yang akan menjadi pengawas, siapa yang memilih dewan pengawas dan
bagaimana pola kerja dewan pengawas bagi KPK.
Menurutnya dewan pengawas bisa menjadi
subjektif. Dikhawatirkan juga dewan pengawas yang terbentuk hanya sebagai
alat bagi kepentingan pihak lain. “Jangan sampai menjadi kurir bagi kepentingan
orang tertentu. Seolah-olah sedang mengawasi KPK, tapi ternyata hanya
kepentingan pihak lain,” ujarnya.
Didi mengatakan rekan-rekannya di DPR
bersikukuh ingin merevisi undang-undang tersebut. Ia sendiri mengaku sepakat
adanya perubahan UU KPK asalkan menuju pada penguatan KPK.
Namun, menurutnya ketiga pasal di atas yang
akan menjadi bahan revisi DPR merupakan kekuatan dari KPK. Sehingga, keberadaan
pasal tersebut sangat dibutuhkan lantaran saat ini kasus korupsi di Indonesia
masih merajarela. “Mungkin di negara-negara lain yang korupsinya sudah minim
pasal-pasal ini tidak perlu,” katanya.
Kinerja KPK lamban
Pendapat berbeda diungkap pakar hukum, Andi
Hamzah. Ia mengatakan revisi UU KPK bukan mengenai pelemahan atau penguatan
KPK. Andi menuturkan, revisi tersebut tentang kejelasan undang-undangnya
agar sesuai dengan asas hukum yang berlaku di Indonesia. “Masih banyak yang
harus dibenahi, namun bukan seperti yang ada di draf saat ini, ” tegasnya.
Menanggapi revisi tentang penyadapan, ia
mengatakan penyadapan melanggar hak asasi manusia. Sehinggga harus ditegaskan
penyadapan hanya boleh dilakukan untuk tindakan pidana khusus seperti
terorisme, pelanggaran HAM, korupsi, perdagangan perempuan dan penculikan.
Kemudian, pelaksanaannya harus dilaporkan pada hakim.
Andi juga mengatakan dalam UU KPK harus
diperjelas, bahwa KPK seharusnya bisa menangkap, mendidik dan merekrut penyidik
sendiri. “Terserah, boleh dari kejaksaan, insinyur pertanian, insinyur
pertahanan atau polisi menurut keahlian masing-masing,” ujarnya.
Menurutnya kinerja KPK selama ini terbilang
lamban. Tugas utama KPK seharusnya mencegah korupsi, justru bukan setelah
adanya korupsi lalu KPK menangkap koruptor. “70 % pencegahan, 30% penindakan,”
jelasnya. Ia mengklaim hal tersebut tidak berjalan di KPK.
Ia pun menuturkan mestinya Indonesia sebaiknya
banyak mencontoh Malaysia. Seperti adanya penuntut umum dan jaksa yang berada
di naungan KPK. Namun, tanggung jawab tertinggi tetap di kejaksaan agung.
“Namun penuntut umum harus dikontrol oleh jaksa agung,” katanya.
Namun, Ia mengatakan KPK Malaysia memuji
lembaga KPK Indonesia yang independen. Hal tersebut merupakan
keistimewaan KPK, sebab KPK tidak tunduk terhadap siapapun. “Polisi saja
ditangkap, mungkin nanti menteri bisa ditangkap, bahkan KPK tidak
takut dengan presiden,” ujarnya. Ia mengusulkan ke depannya di setiap daerah
terdapat lembaga pemberantasan korupsi.
Seminar yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta ini,
dihadiri oleh pembicara dari Balegnas Didi Irawadi Syamsuddin, pakar hukum
pidana Andi Hamzah. Acara diselenggarakan di teater lantai 2 Fakultas Syariah
dan Hukum. Dengan mengusung tema “Revisi UU KPK: Menuju perbaikan atau
pelemahan!”
Dalam seminar ini
seharusnya juga menghadirkan Abdullah Hehamahua selaku penasihat KPK. Namun
karena berhalangan, tidak ada perwakilan dari pihak KPK dalam seminar tersebut.
(Karlia Zainul)