Keadilan sosial di Indonesia merupakan prinsip yang harus
dijiwai dalam kebijakan pembangunan ekonomi. Ia sesungguhnya gerbang bagi
penginterpretasian kembali ajaran Islam.
Hal tersebut diungkapkan oleh pemateri yang juga penulis
disertasi tentang pemikiran Sjafruddin, Pipip Ahmad Rifa’i Hasan dalam seminar
bertema “Keadilan Sosial dalam Pemikiran Islam Sjafruddin Prawiranegara” yang
diadakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Rabu (12/12).
Ada beberapa poin yang dikemukakan Pipip mengenai Sjafruddin
Prawiranegara. “Sjafruddin adalah seorang nasionalis yang memiliki pemikiran
yang radikal dalam Islam dan memegang teguh prinsip keadilan sosial,” ujarnya.
Lebih lanjut Pipip menjelaskan, keadilan sosial menjadi hal
terpenting dalam kebijakan ekonomi yang dibuat oleh Gubernur pertama Bank
Indonesia, Sjafruddin. Baginya, Sjafruddin mementingkan keadilan
sosial karena melihat berbagai perbedaan yang ada di masyarakat Indonesia,
seperti perbedaan agama, etnik, dan kesenjangan sosial. “Keadilan sosial dapat
menjadi dasar persatuan dan kemakmuran bagi bangsa,” ujarnya.
Selain itu, keadilan sosial menurut Sjafruddin merupakan
prioritas yang dapat menjamin pembangunan ekonomi sehingga menumbuhkan
masyarakat yang berorientasi pada spiritualitas dan moral.
“Pembangunan ekonomi harus dimulai dengan penyucian jiwa,” ujar
Pipip. Ia menambahkan, pandangan manusia tentang keduniawian dapat diubah
dengan menekankan aspek terhadap pembangunan moral.
Pemikiran Sjafruddin menggambarkan pembangunan ekonomi harus
sejalan dengan sistem politik yang demokratis melalui pengawasan dan kerjasama
antara pilar demokrasi—eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Selanjutnya, pemikiran Sjafruddin mengutamakan pembangunan
pendidikan. Baginya, masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat diatasi
oleh pendidikan yang benar. “Sjafruddin menginginkan kemiskinan dapat teratasi
dalam periode satu generasi,” jelasnya.
Ia menjelaskan, pemikiran Islam Sjafruddin secara eksplisit
menekankan pada pembaharuan Islam dilakukan dengan mengamalkan prinsip keadilan
sosial. “Kalau dirasa ajaran Islam tidak adil, maka harus diubah,” ujarnya.
Terkait dengan acara tersebut, Jajan Jaharudin, moderator dalam
acara itu mengatakan, seminar ini diadakan untuk membuka pandangan para sarjana
muslim yang masih sangat terbatas dengan pemikiran Islam dari nasionalis.
“Betapa ketidaktahuan kita terhadap pemikiran anak bangsa sendiri,” tegasnya.
Selain itu, Jajan menambahkan, seminar ini diadakan secara rutin
setiap dua bulan sekali yang bertujuan untuk mendiskusikan hasil dari riset
mengenai kajian keislaman dan keindonesiaan dari berbagai perspektif ilmu.
Salah satu peserta
diskusi, Mulawarman, Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta, mengatakan mengenai
pemikiran Islam dari nasionalis merupakan informasi yang sangat baru baginya.
“Sebelumnya saya tidak tahu pemikiran Islam Sjafruddin,” ujarnya. (Gita Nawangsari)