Maraknya perkelahian antar
pelajar kembali terjadi. Hal ini telah mencoreng dunia pendidikan di Indonesia.
Para pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) menjadi korban bahkan meninggal dunia akibat kekerasan yang
disebabkan ulah mereka sendiri.
Menurut
data Bimmas Polri Metro Jaya, perkelahian
pelajar di Indonesia, khususnya di daerah Jakarta meningkat dari tahun
ke tahun. Tahun 1992 tercatat 157 kasus. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus
dengan menewaskan 10 pelajar. Tahun 1995 terdapat 194 kasus korban meninggal 13
pelajar. Tahun 1998 tercatat 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar, dan
meningkat di tahun berikutnya 37 korban pelajar yang akhirnya meninggal dunia.
Sementara itu, menurut Komnas
Anak, jumlah tawuran pelajar tahun ini meningkat. Hingga Juni lalu, tercatat
sudah terjadi 139 kasus tawuran di wilayah Jakarta, 12 kasus menyebabkan
kematian. Sementara pada 2011, ada 339 kasus tawuran yang menyebabkan 82 anak
meninggal dunia.
Menanggapi fenomena tawuran
pelajar yang kian marak di Indonesia, dosen
Psikologi Pendidikan UIN Jakarta, Solicha mengungkapkan, pendidikan saat
ini sangatlah memprihatinkan.”Yang buat saya merinding, pas denger
pengakuan dari mulut si pelaku ternyata dia sudah puas menghilangkan nyawa
orang lain,” ungkapnya, Minggu (21/10).
Solicha menjelaskan, pemicu
terjadinya anarkisme antar pelajar disebabkan oleh berbagai komponen. “Bukan
hanya faktor lingkungan, tapi orangtua, guru, kepala sekolah, kurikulum,
masyarakat, dan media juga perlu dibenahi,” terangnya.
Adapun pemicu lainnya, kata Solicha,
pemberitaan di media turut memicu terjadinya sikap anarkis antar pelajar.
“Sebaiknya media tidak hanya memikirkan rating saja, tapi juga dampak-dampak
dari tayangan-tayangan negatif, yang sering menghiasi layar kaca,” jelasnya.
Ia menyarankan, penayangan
ditelevisi bukan hanya sekedar tontonan, tapi juga tuntunan. “Sebaiknya
penayangan tentang prestasi anak bangsa lebih ditonjolkan, agar yang terekam
dalam memori anak bukan cuma perilaku negatif tapi yang positif juga,” tambah
Solicha.
Sementara itu, faktor internal
pun turut memicu terjadinya tawuran. Menurut Solicha, hal itu disebabkan karena
remaja sedang mengalami masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa, sehingga mentalnya
masih labil dan masih dalam pencarian jati diri dan tujuan hidup. Selain itu,
karena kurang mampunya beradaptasi dengan lingkungan sosial yang kompleks
menimbulkan tekanan pada dirinya.
Berbeda dengan Solicha, pakar
ilmu pendidikan Henry Alexis Rudolf (H.A.R) Tilaar berpendapat, pemicu
terjadinya tawuran disebabkan pendidikan yang egois. Di mana proses belajar kini
sekedar mengajarkan tentang bagaimana mengejar nilai tinggi, dan sudah
melupakan pendidikan moral. “Tujuan pendidikan itu kan bukan untuk otak saja,
melainkan segala aspek,” ujarnya.
Selain
pendidikan yang egois, salah satu kontributor dari munculnya tindakan anarkis
pelajar, sikap egois yang dimiliki setiap anak dan tidak adanya rasa tanggung
jawab moral. Sehingga anak yakin hanya dia berdiri di dunia ini dan sikap
seperti itu dapat menumbuhkan sikap sadis, egois dan anarkis, di mana dalam
hidupnya tidak memerlukan orang lain, papar Tilaar, Kamis (25/10).
Sementara
itu, Solicha menilai persoalan lain penyebab terjadinya tawuran adalah pembelajaran
yang dirasa membosankan secara terus menerus bagi anak. Hal itu membatasi pelajar
untuk berkreativitas dan akhirnya mereka merasa terkekang, yang akhirnya
menimbulkan rasa benci dalam hati si anak, dan ingin melampiaskannya ke sekolah
lain.
Bagi
Tilaar, penyebab lain tindakan anarkis, karena beban kurikulum yang terlalu
padat, sehingga akan membuat pelajar cepat merasa stres. Ia berharap dengan
adanya penyederhanaan kurikulum bisa membuat pelajar tidak lagi merasa
dibebankan dengan materi-materi yang didapatkan disekolah.
“Kurikulum sebaiknya tidak usah terlalu
banyaklah. Sebaiknya pendidikan itu lebih dipusatkan pada baca-tulis-hitung,
bahasa Indonesia, muatan lokal, dan bahasa Inggris. Materi yang sekiranya akan
di Ujian Nasionalkan (UN) saja, sehingga tidak terlalu menjadi beban bagi anak,”
ungkap Tilaar saat ditemui di ruang kerjanya, gedung Syafei lantai 6,
Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Mengenai penyebab tawuran,
Solicha menanggapi, hal itu tidak perlu terjadi asalkan orang tua bisa
memberikan perhatian lebih pada anak, tidak cukup dengan pemenuhan materi
semata, tapi berbicaralah dengan hati. Begitupun dengan penguatan pada aspek
religius. Seperti kebiasaan sholat berjama’ah, mengaji bersama yang dilakukan
secara terus menerus dan sharing antar anggota keluarga. Hal tersebut
turut berpengaruh positif pada anak.
Ia
menambahkan, seorang anak juga perlu belajar menyesuaikan emosi, agar ketika
mendapat tekanan, seorang anak bisa mengontrol tingkat emosinya. Sehingga
terhindar dari perbuatan anarkis, Minggu (21/10).
Selain itu, untuk meredam
sikap anarkis pelajar yang telah tercoreng oleh berbagai faktor eksternal
memanglah tak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, bagi Solicha dengan
mengadakan pendekatan training Emotional Spiritual Quetinent (ESQ) bisa
membantu mengubah sikap seseorang. “Ya, walaupun mengubah prilaku
seseorang itu tidak bisa dilakukan secara
instan, sebaiknya memang perlu juga dilakukan secara terus
menerus baik di sekolah maupun di rumah”.
Lain
halnya dengan Solicha, HAR Tilaar mengungkapkan, elemen terpenting untuk
mengatasi perilaku pelajar yang anarkis ialah pengajar.“Baik sekolah umum atau
sekolah alternatif, pengajarnya juga harus dipersiapkan.” Ia juga mengatakan, tenaga
pengajar jangan seperti nasib kurikulum. “Setiap ganti kementerian, pasti
kurikulum juga diganti,” imbuhnya.
Kering
moralitas
Bagi Tilaar, peserta pelajar
sekarang hanyalah para pesakitan yang dididik untuk mencapai kepentingan
nasional. “Mending Ujian Nasional hapuskan sajalah,” tegasnya.
Orientasi
pendidikan sekarang adalah mengejar sekolah bertaraf internasional dengan gelar
world class university. “Dunia pendidikan sekarang ini
lebih memperhatikan aspek intelektual,” jelasnya.
Menurutnya,
dengan begitu, pendidikan sekarang kurang menghargai kekayaan yang dimiliki
budayanya sendiri.
Tilaar menyarankan, selain kurikulum yang perlu disederhanakan, perlu juga
dibarengi dengan penanaman kurikulum kebudayaan di setiap sekolah. “Kebudayaan
pun bisa mempererat satu bangsa dengan yang lainnya.”Tujuannya, anak bisa memanfaatkan
waktu dengan menghasilkan karya, dan terhindar dari sikap anarkis.
Menanggapi sistem pendidikan
Indonesia, HAR Tilaar menuturkan, ia tak setuju ketika sistem pendidikan
dikatakan gagal, baginya itu hanya salah dimanfaatkan. “Toh, koruptor-koruptor
itu bukan orang-orang bodoh, melainkan orang-orang cerdas,” katanya.
Senafas dengan Tilaar, Solicha,
mengatakan, tak ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia jika
dilihat dari UU Sisdiknas 2003, hanya saja pengejawantahannya yang perlu
dievaluasi.
Ia mencontohkan, proses pembelajaran
di sekolah sebagai lembaga formal seringkali lebih berorientasi pengembangan
aspek kognitif, sehingga dapat melahirkan aspek perkembangan yang
lain.Begitupun dengan pendidikan di rumah. “Jadi kita tidak bisa menyalahkan
satu komponen saja,” ungkap Solicha. (Nurlaela)