Di atas panggung, enam tangga tersusun, tangga-tangga tersebut berdiri tegak pada dinding. Dengan penyinaran cahaya merah, nampak dua perempuan dan enam lelaki. Kedua aktor bergerak lincah. Mereka mengangkat, menaiki, menduduki, dan memutari tangga-tangga bambu.
Tangga yang
dijadikan sebagai alat untuk naik dan turun, diubah menjadi sesuatu yang lain
dalam pertunjukan malam itu. Tangga dalam pertunjukan ini disajikan baik
sebagai jembatan, menara, penjara, beban, keranda, bahkan panggung yang
dikombinasikan dengan gerakan teatrikal.
Menampilkan
visualisasi yang apik, para pemain berganti-gantian mencipta bentuk dari
susunan delapan tangga. Melalui penampilannya, para aktor ingin menyampaikan
pesan tentang kehidupan, kematian, dan perebutan kekuasaan yang
disimbolkan dengan tangga dalam pertunjukan malam itu.
Itulah
gambaran konsep pertunjukan teater dari komunitas seni teater hitam putih, yang
disutradari Yusril, dengan judul teater tangga. Teater tangga ini mengisahkan
tentang kritik terhadap dualisme kekuasaan di Minangkabau.
Yusril juga
menjelaskan, pementasan ini mencoba untuk menyampaikan kepada penonton bahwa
bagaimana kekuasaan itu muncul dari atas dan turun ke bawah. Di Minangkabau,
ada pepatah yang mengatakan, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Artinya,
selalu ada keseimbangan. “Untuk mencapai sesuatu yg di atas kita
menggunakan tangga. Tapi ketika kita sedang di atas, kita melupakannya. Dan untuk
mencapai sesuatu, kita butuh orang untuk menopang kita,” ujarnya.
Menurut
Yusril, selain mengangkat sistem pemerintahan di Minangkabau yang terpusat,
teater tangga ini terinspirasi dari sebuah puisi karya Iyut Fitra dengan judul
yang sama, Tangga. “Aku membayangkan puisi itu (tangga) divisualisasikan,
walaupun puisi itu dipotong dan dipenggal, tapi Iyut kan tidak
mempermasalahkan,” katanya.
Dalam
pertunjukkan Tangga malam itu, penonton benar-benar ditantang untuk melakukan
proses membaca gerakan tubuh setiap pemain. Yusril mengaku, dalam permainan
orang Minang terkenal dengan permainan kata dan mata, tapi ia lebih menekankan
permainan kata. “Kan kalau permainan kata itu udah digunakan Chairul Anwar,
jadi giliran aku menyajikan permainan mata,” ujarnya.
Yusril
menambahakan, penonton diajak bereksplorasi dan berimajinasi dengan pemahaman
pesan yang terkandung dalam pementasan tanpa ada dialog yang terlalu banyak.
“Kita serahkan kepada penonton tentang pemahaman, mereka punya cerita
masing-masing tentang tangga. Jadi pengalaman estetika kita nanti bertemu,”
ungkapnya.
Bagi Yusril,
semua aktor adalah kreator. “Aku tak memberikan naskah buat para pemain, tapi
aku tahu mereka semua adalah seorang kreator, jadi aku bebaskan pemain untuk
menciptakan karya sendiri diatas panggung,” tuturnya sambil tersenyum simpul.
Senada
dengan Yusril, Dedi Darmadi, salah satu pemain mengaku, dalam pementasan kali
ini tak ada naskah yang diberikan. “Kita cuma dikasih arahan oleh sutradara
tentang kultur Minangkabau yang harus masuk, seperti silat yang digabungkan
dengan tari kontemporer,” ungkapnya sambil tertawa.
Pentas seni
yang ditayangkan pada Selasa (25/9) dalam durasi kurang lebih 90 menit ini,
terlaksana berkat dukungan ISI Padang Panjang, Dewan Kesenian Sumatera Barat,
Dewan Kesenian Jakarta, dan STSI Bandung. Yusril menuturkan, setelah pentas di
Jakarta, ia dan komunitasnya akan melanjutkan pentas di STSI Bandung. (Nurlaela)