Depok, INSTITUT- Penggusuran rumah di Jalan Baru Lio RT 07 RW 19, Pancoran Mas,
Depok berlangsung ricuh. Sekitar 300 petugas gabungan Satuan Polisi
Pamong Praja (SATPOL PP) dan petugas kepolisian mengeksekusi penggusuran pukul
09.30 WIB, Rabu (7/11).
Warga
sekitar dan beberapa mahasiswa mencoba mempertahankan rumah tersebut, namun
petugas gabungan membubarkan blokade warga dan mahasiswa. Eksekusi
penggusuran dilakukan secara paksa dengan mengeluarkan seluruh barang dari
dalam rumah. Lima buah truk digunakan untuk mengangkut barang dan dua buah
buldozer digunakan untuk meruntuhkan bangunan rumah.
Bambang
Rizki, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Jakarta yang rumahnya
ikut digusur merasa eksekusi penggusuran seharusnya ada surat peringatan (SP)
satu dan SP dua sebelum dilayangkannya surat eksekusi. “Tau-tau rumah saya mau
digusur besok,” ujarnya (6/11).
Ia
merasa uang ganti rugi yang ditawarkan oleh Pekerjaan Umum (PU) tidak sebanding
dengan harga yang seharusnya. Harga tanah di daerah itu berkisar sekitar Rp3-5
juta per meter, sedangkan yang ditawarkan hanya Rp650 ribu.
Pihak
Bambang sudah mengajukan banding ke PU dan meminta transparasi jumlah kucuran
dana dari pusat untuk ganti rugi penggusuran, karena dana dari masterplan
keluar sejak tahun 2011. “Harusnya kan ada tim apresial atau tim tujuh, tapi
sampai sekarang tidak diketahui siapa tim tujuh tersebut, itukan sudah
menyalahi prosedur,” tegasnya.
Padahal
menurut Bambang, tanah yang dimiliki jelas legal, karena dilengkapi dengan
surat dan sertifikat tanah yang sesuai peraturan pemerintah yang berlaku.
Tidak hanya itu, kehidupan warga juga bergantung oleh kediaman yang
lokasinya strategis untuk mencari mata pencaharian. “Mereka bisa berjualan,
usaha kos-kosan dan yang lainnya,” katanya.
Bambang
menambahkan, penggusuran lahan tersebut berdalih pelebaran jalan yang digunakan
untuk kepentingan umum. Namun setelah ditelisik, jalan tersebut akan digunakan
untuk pusat jual beli dan sebagainya. “Ini dipelopori Perseroan Terbatas (PT)
Andika, PT-nya Aburizal Bakrie,” ungkapnya.
Selain
itu Tabronih (Ayah Bambang Rizki), pemilik rumah menjelaskan, ia hanya ingin
uang ganti rugi sebanding dengan tanah dan bangunan yang digusur, tapi
keinginan tersebut tidak dipenuhi dengan pemerintah kota. “Saya itu sebenarnya
menangis dalam hati,” keluhnya.
Tabronih
meminta ganti rugi sebesar Rp3-5 juta per meter, namun tidak ditanggapi. Malah
tanah ini hanya dihargai Rp600 ribu per meter. Padahal menurutnya, rumah
ini tidak hanya untuk tempat tinggal bersama keluarga, tetapi sebagai
mata pencahariannya. “Usaha kos-kosan delapan pintu untuk biaya kuliah dan
sekolah anak-anak saya,” ungkapnya.
Ia
menambahkan, ketika rumah ini hendak digusur, ia belum menandatangani surat
penggusuran, namun SATPOL PP dan Polisi memaksa mereka untuk mengosongkan rumah
tersebut. Ia juga menambahkan sampai sekarang rumah ini digusur ia pun belum
mendapatkan uang ganti rugi barang sepeser.
Ia
berharap Wali Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail dapat bersikap tidak semena-mena
menggusur lahan warga tanpa turun langsung ke lokasi untuk melihat kondisi
mereka. “Harusnya Nur Mahmudi Ismail mau turun ke lokasi, seperi Gubernur DKI
Jakarta, Joko Widodo,” ujarnya.
Terkait
maslah penggusuran secara paksa, Kepala Satuan (Kasat) Polisi Pamong
Praja, mengatakan, pihaknya telah lama memberikan pemberitahuan
pengosongan rumah. “Tapi mereka masih bertahan, tidak seperti tetangganya yang
sudah menerima persetujuan,” tambahnya. (Gita Nawangsari)