Dalam
konstitusi Republik Indonesia, negara mejamin kehidupan rakyatnya. Namun,
nyatanya pemerintah telah mengkhianati konstitusinya sendiri. Mereka
merebut paksa tanah yang menjadi tempat tinggal masyarakat dengan dalih
kepentingan bersama.
Pengkhianatan
konstitusi bangsa terbukti dengan adanya perlakuan semena-mena yang diterima
keluarga Tabronih. Mereka dipaksa harus meninggalkan rumahnya. Padahal bangunan
yang sudah lama ia tempati memiliki kejelasan di mata hukum. Surat dan
sertifikat tanah pun menjadi bukti kelegalan atas bangunan tersebut.
Seolah
tak memperdulikan kehidupan mereka, pemerintah tetap memaksa untuk mengosongkan
dan meratakan rumah Tabronih. Padahal, rumah yang selama dua tahun mereka
perjuangkan telah menjadi sumber kehidupan ekonomi keluarganya. Namun, saat ini
kehidupan ekonomi keluarga Tabronih telah terganggu dengan tindakan semena-mena
dari pemerintah demi memuluskan mega proyeknya.
Meski ada uang ganti rugi dari pemerintah setempat, namun jumlah uang yang
diberikan tidak sepadan “Kami hanya diberikan uang ganti rugi sebesar Rp650
ribu per meter. Padahal tanah
di daerah sini Rp3-4 juta per meter,” keluh Bambang Rizki, anak Tabronih yang
juga mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Jakarta.
Dengan
kondisi yang serba sulit, bagaimana kelurga Tabronih dapat melangsungkan
hidupnya dengan tiga orang anak dan satu orang istri. Terlebih, anak-anaknya
masih duduk dibangku sekolah dan butuh biaya yang tak sedikit. Karena pada
realitanya, biaya kehidupan di kota sangat mahal.
Setelah
membandingkan dengan realita yang ada, sontak keluarga Tabrani menolak
mentah-mentah penawaran yang diajukan pihak pemerintah kota. Imbasnya, teror
dan intimidasi pun kerap mereka terima. Mulai dari mendatangkan intel, ancaman
melalui telepon, memadamkan listrik dan mengirim beberapa polisi ke kediaman
Tabronih.
Mestinya,
pengusuran yang ditujukan untuk membangun ruas jalan Dewi Sartika menuju Margonda
Raya dan Arif Rahman Hakim dilaksanakan tahun lalu. Namun, pembangunan urung
dikerjakan lantaran perjuangan keluarga Bambang dalam mempertahankan rumahnya.
Perjuangan
keluarga Bambang terus berlanjut. Sampai ia mendatangi kantor serta rumah
Walikota Depok untuk mengajukan banding dan negosiasi. Namun, hal tersebut tak
digubris sedikit pun oleh walikota setempat.
Hal
yang sama juga ia alami ketika menyambangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Depok. Namun, Tidak ada sedikitpun tanggapan baik yang diterima. Justru,
DPRD menyalahi keluarga Bambang. “Menurut DPRD harga Rp650 ribu sudah sesuai
dan sudah final,” ucap Bambang kesal.
Sampai
pada Rabu (7/11) pagi ini, Bambang dan kelurga tidak pernah berhenti
memperjuangkan haknya. Meski, ratuasan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
telah mendatangai kddiamannya dan siap untuk membongkar rumah secara paksa.
Demi
mempertahankan haknya, Bambang dan kelurga berusaha mengalangi penggusuran
tersebut. Pada akhirnya, penggusuran rumah yang bertepat di Kampung Lio,
Kecamatan Depok berakhir bentrok. Pukulan yang dilakukan petugas Satpol PP pun
melayang ke tangan dan pipinya. Tak hanya Bambang, beberapa temanya yang juga
ikut mempertahankan rumah Bambang pun ikut terkena sasaran arogansi petugas.
Suasana
haru pun menyelimuti keluarga Bambang, tetangga serta beberapa kerabat yang
menyaksikan langsung pengosongan rumah tersebut. Isak tangis keluarga Bambang
semakin terdengar ketika gemuruh buldozer semakin dekat dan siap untuk
meruntuhkan bangunan seluas 136 meter. “Saya hanya bisa menagis dalam hati.
Saya mau ganti rugi yang sebnading dengan harga rumah saya,” seru Tabronih,
sembari menahan tangis.
Sejam
berlalu, rumah yang dulu berdiri kokoh kini hanya tinggal puing-puing sisa
bangunan. Sampai bangunan telah hancur dan menyatu pada tanah, uang ganti rugi
yang dijanjikan pihak pemerintah kota Depok pun belum juga sampai ke tangan
Tabronih. (Nur Azizah)