Belum lama ini, media marak
memberitakan kasus asusila yang dilakukan pelayan rumah makan cepat saji
terhadap seorang anak di Makassar. Kasus ini hanya satu dari kasus-kasus
asusila lain yang terjadi terhadap anak di Indonesia. Bahkan, pada beberapa
kasus pelaku adalah orang terdekat korban. Yang lebih mengagetkan, ada juga
pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak-anak.
Dosen Kesehatan Masyarakat
(Kesmas) UIN Jakarta, Raihana Nadra Alkaff mengatakan, kasus-kasus tersebut
sebenarnya dapat diminimalisir dengan memberikan pendidikan seks kepada anak
sejak dini. Sayangnya, pendidikan seks di Indonesia masih dianggap tabu.
Menurutnya, pemikiran masyarakat
tentang pendidkan seks masih sempit. Masyarakat berasumsi, pendidikan seks
hanya berkaitan dengan kegiatan seksual. “Seolah-olah anak hanya akan diajarkan
tentang hal-hal seksual,” ujar Raihana, Jumat (2/11).
Padahal, dengan pendidikan seks,
anak akan mengetahui bagian tubuh mana yang harus ditutup dan tidak boleh
disentuh orang lain. Anak juga akan diberikan pemahaman bagaimana bersikap
untuk menjaga diri sendiri. Sehingga, anak berani menolak pada orang yang
berperilaku senonoh terhadapnya.
Pendidikan seks juga mengajarkan
anak untuk tidak takut melapor jika ada orang yang memperlakukannya dengan
tidak sopan.
Selain itu, menurutnya, dalam
pendidikan seks juga diajarkan hal-hal yang terkait dengan organ-organ
reproduksi, fungsinya, sistem reproduksinya itu sendiri, dan segala
permasalahan yang ada dalam kesehatan reproduksi.
“Jadi, selain dapat meminimalisir
adanya tindakan asusila pada anak, pendidikan seks juga mengajarkan anak
bagaimana menjaga kesehatan reproduksinya,” tambah Raihana yang juga aktivis
LSM bidang kesehatan reproduksi.
Sementara itu, Psikolog Pusat
Layanan Psikologi (PLP) UIN Jakarta, Zulfa Indira Wahyuni menuturkan, memang
masih banyak orang yang menganggap seks untuk anak merupakan sesuatu yang tidak
boleh dibicarakan. Namun seiring perkembangan zaman, sekarang sudah ada pula
orang tua yang mau membuka diri. “Sudah tidak setabu dulu kok,” tuturnya, Kamis
(1/11).
Metode
pendidikan seks
Zulfa berkata, anak sudah dapat
diajarkan pendidikan seks sejak usia tiga tahun. Pada masa ini, anak hanya
diberi pengenalan tentang identitas seksualnya. Anak diajarkan bahwa laki-laki
dan perempuan itu berbeda. “Sehingga, anak akan tahu kalau tanggung jawab
laki-laki dan perempuan itu berbeda,” tambahnya.
Memasuki usia Taman Kanak-Kanak
(TK), lanjut Zulfa, anak diajarkan tentang bagian mana saja yang boleh disentuh
orang lain, dan mana yang tidak. Menurutnya, sentuhan itu ada tiga macam.
Sentuhan boleh, sentuhan tidak boleh, dan sentuhan membingungkan.
Zulfa menjelaskan, sentuhan boleh
yaitu sentuhan yang boleh dilakukan oleh siapa saja. Bagian tubuh yang
diperbolehkan yaitu dari pundak ke atas dan lutut ke bawah. Sedangkan, sentuhan
tidak boleh yaitu sentuhan yang hanya boleh dilakukan oleh orang tua atau,
untuk kasus tertentu, oleh dokter.
Sentuhan tersebut berlaku untuk
bagian yang ditutupi oleh baju renang. “Anak harus tahu, bahkan oleh orang
terdekat sekalipun, bagian ini tidak boleh disentuh,” imbuhnya. Sentuhan
membingungkan yaitu sentuhan yang dilakukan pada bagian sentuhan boleh, namun
mengarah pada sentuhan tidak boleh.
Pada masa ini, anak diberi
pemahaman untuk tidak sungkan melapor pada orang tuanya bila ada yang melakukan
sentuhan tidak boleh atau sentuhan membingungkan terhadapnya. “Oleh karena itu,
dibutuhkan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak,” tambahnya.
Sementara itu, menurut Raihana,
pada masa balita, pendidikan seks untuk anak ditekankan pada menumbuhkan sikap
asertif anak. Sikap asertif yaitu sikap untuk berani berkata tidak pada orang
yang berlaku senonoh terhadapnya.
Dengan sikap asertif, anak akan
mengerti kalau tubuhnya adalah haknya, sehingga, tidak boleh disentuh oleh
orang sembarangan. “Itulah pentingnya penanaman sikap asertif,” katanya.
Memasuki usia Sekolah Dasar (SD),
lanjut Raihana, selain diajarkan perbedaan identitas seksual, anak juga sudah
dapat diajari organ-organ apa saja yang terkait dengan reproduksi. “Kan mereka
sudah belajar IPA,” ujarnya. Pada masa ini, anak pun diajarkan tentang
norma-norma agama yang berkaitan dengan perilaku laki-laki dan perempuan.
Bahkan, lanjut Raihana, pada masa
usia Sekolah Menengah Pertama (SMP), anak sudah dapat diberi pemahaman lebih
mendalam, seperti proses kehamilan. “Kan pengetahuan mereka juga lebih tinggi,”
ujarnya.
“Mama,
aku dari mana?”
Lebih lanjut, Raihana
menjelaskan, saat anak menanyakan sesuatu yang mengarah pada hal-hal
reproduksi, misalnya, “Mama, aku dari mana?” Yang harus dilakukan orang tua
adalah menjawabnya.
Orangtua harus menjawab dengan
informasi yang benar. Namun, jangan sampai jawaban yang diberikan menunjukan
cara berhubungan seksual. “Jawab saja seperti guru IPA menjelaskan
alat-alat reproduksi atau pembuahan,” jelasnya.
Zulfa menambahkan, saat anak
menanyakan hal demikian, orangtua jangan memarahinya. Orangtua harus dapat
menjadi fasilitator yang baik untuk anak. Orangtua harus mengerti, anak sedang
dalam proses mencari tahu.
Oleh karena itu, orangtua tidak
boleh menutup-nutupi, hingga membuat anak penasaran. Sehingga anak tidak
mencari informasi sendiri ke tempat lain, yang mungkin infomasinya akan salah.
Sebaiknya, menurut Zulfa, hal
pertama yang dilakukan orangtua ketika anaknya menanyakan hal tersebut yaitu
mengecek sejauh mana pengetahuan anak terhadap pertanyaannya itu. Misalnya
dengan pertanyaan, “Menurut kamu sendiri, itu apa?”
Hal ini dimaksudkan agar jawaban
yang diberikan sesuai dengan pertanyaan anak. Orangtua juga harus menjelaskan
dengan bahasa yang mudah dimengerti anak. “Jangan menggunakan istilah-istilah
yang akan membuat anak bingung,” tambahnya.
Zulfa melanjutkan, saat orangtua
merasa tidak mampu menjawab pertanyaan anaknya, orangtua tidak boleh memberikan
jawaban yang dibuat-buat. Orangtua sebaiknya memberikan janji pada anak untuk
menjawabnnya di lain waktu. “Dengan syarat, orangtua harus menetapi janjinya
dan mencari tahu jawaban yang benar,” jelasnya.
Selain
itu, Zulfa juga mengatakan, pendidikan seks tidak hanya menjadi tanggung jawab
orangtua. Sekolah pun memilliki peran untuk memberikan pendidikan seks pada
anak. Misalnya, guru menegur murid yang berpegangan tangan atau mengadakan
penyuluhan masalah pendidkan seks. (Siti Ulfah Nurjanah)