Penyelesaian
kasus penggelapan uang yang dilakukan ketua koperasi UIN Jakarta priode
2008-2009 bertele-tele. Hal tersebut terbukti, sampai saat ini, kasus
penggelapan mencapai angka milyaran rupiah belum mendapatkan kejelasan.
Menurut
salah satu anggota Koperasi UIN, Muhammad Nuh, pihak koperasi belum tegas dalam
menangani kasus penggelapan ini. Penyelesaian kasus ini sengaja dibuat
bertele-tele karena banyak yang terlibat dalam kasus penggelapan uang.
“Mungkin
sengaja dibuat seperti ini, karena banyak ‘orang atas’ seperti bagian keuangan
dan pihak yayasan Syahida yang melindunginya,” ucapnya, Kamis (25/10).
Maulana,
anggota koperasi UIN lainnya, menilai Badan Pengawas Koperasi (BPK) belum
bertindak secara maksimal ketika kasus pengelapan ini muncul. BPK seakan
mengulur-ulur kasus ini, buktinya sudah tiga tahun belum terselesaikan.
“Kalau
memang sudah ada bukti, cepat penjarakan. Jangan sampai pelaku terus
berkeliaran,” tegas Maulana, Rabu (31/10).
Senada
dengan Mualana, Ketua koperasi Mahasiswa (Kopma), Yanuar Yogatama melihat
adanya ketidakseriusan dalam menangani kasus ini. Ia menilai, ada diskriminasi
dalam penyelesaiannya. “Usut sampai tuntas kasus ini. Jangan mentang-mentang
dia pengurus UIN, lantas dibiarkan,” tegasnya, Senin (5/11).
Menanggapi
hal tersebut, Jafar Sanusi selaku mantan ketua BPK mengaku, pihaknya sudah
bekerja secara maksimal. Terkait mengulur waktu, ia menjelaskan, pihak koperasi
sedang mencari data yang hilang dan akan membutuhkan waktu yang lama. Jafar pun
menyangkal, jika pihak koperasi bertele-tele dalam menangani kasus ini.
“Setelah
kejadian ini terbongkar, kami pun langsung bertindak. Sekarang masalah ini
sedang ditangani oleh pihak yang berwajib,” ujarnya, Jumat (2/11).
Dalam
penyelesaian kasus ini pihak koperasi tidak tegas. Dibuktikan dari pengauditan
yang tidak ditindaklanjuti. Abdul Hamid Cebba, auditor independen dalam kasus
ini mengungkapkan, ia dan timnya baru bertindak sebagai general audit. “Itu pun
hanya mengaudit data 2006 dan 2007. Setelah kasus ini terjadi (2009),
pemeriksaan justru dihentikan,” paparnya.
Ia
tidak tahu pasti, mengapa pihak koperasi menghentikan pengauditan. Cebba
menyayangkan jika pemeriksaan tidak dilanjuti maka penyelesaiannya akan semakin
berlarut-larut dan tidak menemukan hasil yang pasti.
Menanggapi pemberhentian pemeriksaan keuangan koperasi, Ketua Koperesi UIN
saat ini, Jafar Sanusi merasa sudah pernah menugaskan langsung kepada pihak auditor.
Namun, memang tidak disertai dengan surat
penugasan. “Jika memang perlu, nanti akan kami berikan surat,” ucap Jafar.
Terkait
pelaku di balik kasus ini, Jafar menyampaikan, aktor utama penggelapan uang
tersebut hanya ada satu orang, yakni Lili Badriadi. Hal itu dibuktikan dengan
tidak adanya kwitansi pengeluaran, pemalsuan tanda tanggan, KTP, dan
kejanggalan dalam laporan pertanggungjawaban.
Keterangan Jafar diperkuat dengan pernyataan bendahara koperasi UIN,
Saefullah, ia mengungkapkan kasus ini tercium ketika ada telepon dari pihak
bank yang menyatakan akan ada pencairan uang senilai Rp 1,5 Milyar. “Padahal saat itu, kepengurusan belum
terbentuk. SK pun belum ada. Ternyata Lili melakukan pemalsuan tanda tangan dan
KTP,” paparnya, Rabu, (31/10).
Ia
menambahkan, setelah ditelusuri, banyak peminjaman di mana-mana, di antaranya
di Bank Mandiri Syariah, Bank Tabungan Negara, Bank Nasional Indonesia Syariah
dan Bank Kesejahteraan Ekonomi. Penggelapan itu pun terjadi ketika ia menjabat
sebagai manager dan berlangsung sampai ia menjadi ketua.
Tak
hanya itu, Lili juga dituduh melakukan penggandaan dokumen milik anggota untuk
mengajukan peminjaman di bank berbeda. Selain itu, ketika bendahara meminta
kwitansi pengeluaran, Lili selalu mengelak dan menutup-nutupi. Kecurigaan
semakin tercium ketika pengurus jarang dilibatkan dalam pencairan uang. Dari
situlah, pengawas dan pengurus langsung bertindak.
Untuk mengklarifikasi pernyataan Jafar dan Saefullah, Lili menjelaskan ia
merasa tidak pernah melakukan penggelapan seperti yang dituduhkan kepadanya. Ia merasa uang yang dipinjamnya dipergunakan
untuk kesejahteraan koperasi sendiri, Karena saat itu kondisi keuangan koperasi
tidak ada uang.
Ia
pun membantah pernah melakukan pemalsuan tanda tangan dan KTP. Lili menjelaskan,
sebenarnya pemalsuan dokumen itu hanya salah paham. “Waktu itu saya ingin
mengajukan permohonan peminjaman, tetapi tidak disetujui pihak rektorat,
gara-gara penanggung jawabnya tidak sesuai rekomendasi,” paparnya.
Karena
sudah terlanjur diajukan ke pihak bank, tambah Lili, penanggung jawab tersebut
tidak bisa diganti. Akhirnya, ia dituduh memalsukan tanda tangan dan KTP.
Atas
tuduhan tersebut, Lili bersedia bertanggung jawab jika memang ia terbukti
bersalah. Ia tidak akan lari dari masalah ini dan siap bertanggung jawab,
asalkan ada bukti yang kuat yang menyatakan dirinya bersalah.
“Saya
tidak mau berbicara terlalu banyak. Kalau saya dituduh menggelapkan uang. Mari
kita buktikan di penjara (pengadilan),” tegasnya. (Nur Azizah)