Keprihatinan Dhuha Ardiyansyah
dan beberapa rekannya akan kehidupan dan pendidikan anak-anak kurang
mampu mendorongnya untuk membentuk komunitas Gipsy Volunteer. Dalam menjalankan
misinya, komunitas ini bekerja sama dengan beberapa yayasan pendidikan anak
untuk menyuplai relawan yang akan menjadi pengajar di sekolah yayasan-yayasan
itu.
Dhuha berharap, apa yang mereka
berikan dapat menjadi bekal untuk anak-anak yang mereka tolong di masa yang
akan datang. Bekal yang akan menjadi pegangan hidup mereka untuk meraih
kekayaan materil dan kekayaan hati.
Untuk mencapai impian tersebut,
para relawan Gipsy tidak hanya mengajarkan anak-anak untuk mendapat nilai yang
baik di pelajaran matematika, tetapi juga dalam beretika. “Misalnya
dengan memberikan pelatihan pembentukan karakter pada anak,” imbuh Dhuha
yang juga dosen Fakultas Adab Humaniora (FAH) UIN Jakarta itu.
Dalam menyusun
program-programnya, para relawan Gipsy tidak berkumpul di suatu tempat tetap,
karena mereka sepakat menjalankan komunitasnya tanpa sekretariat. Kesepakatan
mereka ini mirip cara hidup Ras Gipsy, salah satu Ras Asia di Eropa yang tidak
memiliki tempat tinggal tetap. Karena itulah mereka menamakan diri sebagai
Gipsy Volunteer.
Selain tanpa sekretariat, relawan
Gipsy juga sepakat menjalankan komunitasnya tanpa struktur. Mereka percaya,
meski tanpa struktur, komunitas Gipsy Volunteer masih tetap dapat menjalankan
program-programnya dengan baik. “Jadi, jangan pernah tanya di mana sekretariat
Gipsy atau siapa ketua komunitas Gipsy,” ujar Dhuha sambil tersenyum ramah.
Alasan
inilah yang mendasari komunitas yang Juni lalu berusia tepat tiga tahun itu
selalu bekerja sama dengan lembaga lain ketika menjalankan misi-misinya. Dhuha
mengutarakan, Gipsy siap menolong lembaga manapun yang meminta bantuan tanpa
bayaran.
Ketiadaan struktur ini juga
menyebabkan Gipsy Volunteer tidak pernah mengadakan penerimaan anggota baru
seperti komunitas pada umumnya. Dhuha berkata, semua orang yang siap menjadi
relawan Gipsy adalah anggota Gipsy Volunteer.
Kegiatan-kegiatan Gipsy
Volunteer, lanjut Dhuha, tidak hanya terselenggara di Indonesia. September 2010
silam, relawan Gipsy mengadakan pelatihan kepemimpinan untuk anak-anak di
Singapura.
Kegiatan ini mempunyai nilai tambah,
karena di sana para relawan Gipsy tidak hanya mengajarkan anak-anak Singapura
bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Mereka juga mengenalkan anak-anak itu
tentang apa saja budaya-budaya khas Indonesia.
Bersama komunitas yang memiliki
logo tangan bersalaman ini, Dhuha dan para pionir Gipsy Volunteer lainnya
mempunyai impian. Impian mereka sederhana saja. Mereka menginginkan, apa yang
mereka lakukan sekarang dapat mengubah kehidupan anak-anak yang mereka
tolong saat ini. Mereka berharap, kehidupan anak-anak kurang beruntung itu akan
lebih baik di masa yang akan datang.
Berawal
dari pergeseran prinsip
Pada mulanya, Dhuha dan pionir
Gipsy Volunteer lainnya tergabung dalam organisasi internasional bernama
Religious Youth Service (RYS). RYS adalah organisasi internasional lintas
agama.
Menurut Dhuha, perkumpulan itu
merupakan tempat sharing dan berkumpul para anggota dari berbagai kepercayaan.
Namun, seiring berjalannya waktu, ideologi RYS berubah. Organisasi tersebut
ingin menyatukan ideologi agama-agama para anggotanya menjadi satu. Kemudian,
tentu saja, rencana ini mendapat pertentangan dari beberapa anggotanya.
Mereka yang menentang, terutama
para anggota dari Indonesia, lanjut Dhuha, akhirnya memutuskan untuk memisahkan
diri,. Tetapi, para anggota dari Indonesia masih tetap bekerja bersama di
bidang sosial kemanusiaan, khususnya bidang pendidikan untuk anak kurang mampu.
Pada perkembangannya, mereka menamakan diri sebagai Gipsy Volunteer.
Meski terpisah dari RYS, Gipsy
Volunteer juga merupakan komunitas yang berlandaskan lintas agama. Para
anggota berkeyakinan, di luar urusan agama, mereka adalah manusia biasa yang
harus peduli akan orang-orang sekeliling mereka tanpa memandang kepercayaan.
Karena itulah Gipsy Volunteer
tidak hanya menjalankan programnya di yayasan yang berlandaskan Islam, tetapi
juga yang berlandaskan Kristen, Budha, dan sebagainya. “Seperti beberapa waktu
lalu, kami mengadakan acara di sebuah yayasan berbasis Budha di daerah Malang,”
ucapnya. (Siti Ulfah
Nurjanah)