Fenomena bentuk tulisan dan kata-kata baru seperti, ‘Ciyuus’,
‘Miapa’ juga ‘4L4Y’ yang saat ini menjangkiti masyarakat
merupakan sebuah pembaharuan. Namun, kekhawatiran muncul, apakah seseorang yang
menggunakan bahasa alay akan gagap berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Hal ini membuat budayawan, Radhar Panca
Dahana angkat bicara. Fenomena kemunculan bahasa alay ini sebenarnya merupakan
ekspresi pemuda dalam menciptakan bentuk-bentuk dan makna baru yang lebih segar
dalam berbahasa, (17/10).
”Masyarakat khususnya pemuda selalu mencoba
hal-hal baru dalam mengekspresikan sesuatu, baik dalam bentuk tulisan dan
perkataan. Dengan adanya bentuk tulisan dan kata-kata yang menentang kaidah
berbahasa membuat kaum muda lebih progresif.”
Berbeda dengan Radhar, pakar Lingustik,
Djoko Koentjono, menjelaskan, bahasa alay tidak akan masuk ke dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Biasanya bahasa alay ini digunakan oleh golongan,
kelompok, dan komunitas tertentu saja. Terlebih bahasa ini kebanyakan
penggunanya anak muda, (27/9).
Ia mencontohkan, “Penggunaan bahasa ‘serius’ menjadi ‘ciyuus’
ini pengguna bahasanya merupakan pemuda. Kan saat tua tidak mungkin pemuda itu
menggunakannya lagi, kecuali memang orang itu sedang reuni dengan teman
kelompoknya dulu yang memang menggunakan bahasa ‘ciyuus’ itu.”
Radhar menuturkan, alay ini merupakan
perlawanan pemuda terhadap bentuk-bentuk bahasa yang klasik, konservatif, dan
konvensional. Dengan adanya penolakan seperti itu, membuat kebudayaan semakin
berkembang.
Namun, perlawanan-perlawanan itu membuat
permasalahan baru, di mana budaya mapan menolak keberadaan kebudayaan alay. Hal
tersebut karena kebudayaan mapan merasa tergeser dengan budaya baru yang dibawa
oleh pemuda.
“Ekspresi anak muda biasanya tidak diterima oleh kebudayaan
mapan yang diakui oleh established people(orang elit). Penolakan
orang elit terlebih karena merasa diancam dengan munculnya kebudayaan baru yang
menolak dominasi kebudayaan mapan tersebut,” ujarnya.
Dalam kacamata Linguistik, kemunculan fonem (huruf) dan bentuk
bahasa alay dapat dipelajari. Djoko menjelaskan, kata ‘4L4Y’ dapat
dikatakan sebagai salah satu bentuk variasi dalam bahasa. Jika diteliti lebih
mendalam dengan mengambil contoh kata-kata dan tulisannya, maka dapat dilihat
kaidah bahasa alay tersebut.
”Sebuah angka, seperti ‘4’ dan ‘5’ dibaca
menjadi fonem ‘A’ dan ‘S’, mungkin mempunyai kesamaan dalam bentuk yang hanya
sebagian saja. Selain itu, bisa jadi hal ini merupakan salah satu bentuk
permainan bahasa, dengan memanipulasi bahasa yang biasa digunakan untuk
keperluan iklan, ungkapan, dan humor,” tukasnya.
Jika dilihat, bahasa alay ini tidak terlalu
mempunyai umur yang panjang, di mana memang hanya menjadi sebuah trend. Menilik
dari sifat bahasanya, alay ini akan terus berubah. Perubahan tersebut biasanya
berkutat pada pengulangan kata dan konsonan awal saja. Hal tersebut dirasa
wajar menurut Djoko, “Di tempat manapun memang selalu ada permainan kata
seperti itu.”
Selain itu, jika dilihat dari struktur
bahasa, alay mempunyai pengaruh dalam perkembangan makna. Seperti makna anak
layangan yang memang dahulu diartikan anak-anak kecil yang bermain
layang-layang. Tetapi saat ini anak layangan diartikan sebagai anak yang
kampungan.
Lebih jauh Djoko menjelaskan, bahasa sendiri selalu berkembang
setiap jamannya, sesuai dengan sarana telekomunikasi, kreativitas dan teknologi
yang semakin canggih. Di mana kita dapat melihat, kemunculan bentuk tulisan
alay dan kaidah bahasanya dapat dilihat dalam SMS (Short Message System).
Penerimaan Budaya dalam Masyarakat
Radhar mengatakan, jika sebuah kebudayaan
baru menginginkan diterima dan diakui dalam masyarakat, maka kebudayaan itu
haruslah menunjukkan eksistensinya di dalam masyarakat. Misalnya, anak punk
yang mengenakan aksesoris, berbicara, dan berpakaian berbeda dengan masyarakat
pada umumnya, namun mereka bisa terus eksis di dalam dinamika masyarakat.
Hal ini bisa terjadi pada kebudayaan alay,
budaya alay dapat menjadi kesenian (artistik) asalkan kebudayaan itu membentuk
framenya sendiri, dengan catatan kebudayaan itu terus-menerus membuat banyak
orang terpengaruh untuk mengikutinya atau bahkan menggeluti budaya alay.
Namun, Radhar pesimis melihat kebudayaan alay ini bisa mendobrak
kebudayaan mapan. Karena fenomena seperti alay ini akan selalu ada pada setiap
jamannya, bahkan fenomena ini sudah ada sejak dahulu. Dan untuk bisa membuat
frame yang melekat pada sebuah budaya sangatlah sulit. Ia mengatakan,
“Kebudayaan baru seperti alay ini jarang ada yang bisa membentuk framenya untuk
diakui masyarakat.” (Adi Nugroho)