Kekerasan
terhadap wartawan masih marak terjadi di Indonesia. Beberapa waktu lalu,
terjadi kasus penganiayaan terhadap beberapa orang wartawan oleh aparat TNI AU.
Kasus terjadi pada 16 Oktober lalu di Kabupaten Kampar, Riau. Seorang aparat
berseragam menyerang beberapa wartawan yang tengah meliput peristiwa jatuhnya
pesawat Hawk 200 milik TNI AU.
Kasus
ini hanya sebagian kecil saja yang ditayangkan media, sebelumnya masih banyak
kasus kekerasan terhadap wartawan yang terjadi, namun tidak mendapat sorotan
publik. Berdasarkan data AJI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, kasus
kekerasan terhadap wartawan di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun.
Mulai
tahun 2005 sebanyak 43 kasus, meningkat menjadi 75 kasus di tahun 2007 dan 95
kasus di tahun 2011. Pada tahun 2012 tercatat 67 kasus sampai dengan bulan
Oktober, 58 kasus sampai bulan Juli dan 9 kasus di bulan Oktober. Terdiri dari
kekerasan nonfisik yang berupa perusakan alat-alat liputan dan kekerasan fisik
berupa penganiayaan hingga menyebabkan kematian.
Kebebasan
pers bukan sekadar bebas memberitakan apapun, tetapi harus diiringi dengan
keselamatan para pekerja pers. “Buat apa pers bebas jika tidak selamat,”
ujar Wahyu Dhyatmika, mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Jakarta, Selasa (30/10).
Penegak hukum tidak tegas
Wahyu
mengatakan, faktor utama yang membuat kasus kekerasan terhadap wartawan terus
meningkat adalah penegak hukum yang tidak tegas. Alhasil, kasus-kasus yang
serupa terulang kembali. Tidak diberlakukannya sanksi tegas terhadap pelaku
membuat wartawan mudah dilecehkan, “Seakan-akan nyawa wartawan itu murah,”
tukasnya.
Perlindungan
terhadap wartawan sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
Pasal 8 berbunyi “Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan
hukum”.
Fita
Faturakhmah, Kamis (1/11), Dosen Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memaparkan, sistem pers yang dianut Indonesia adalah bebas bertanggung jawab.
Maksudnya, pers bebas tetapi tetap memiliki tanggung jawab sosial pada
masyarakat.
Namun,
selama ini terjadi kesalahan penafsiran pada sistem pers tersebut. Selama ini
pemerintah menafsirkannya seperti “Pemerintah atau negara tidak mengintervensi
media”.
Pemerintah,
menurutnya, terkesan lepas tangan terhadap apapun yang terjadi pada media
termasuk dalam menangani kekerasan terhadap wartawan. Alhasil, tindak kekerasan
masih marak terjadi.
Fita
menambahkan, lembaga etik seperti Dewan Pers harusnya memperoleh kewenangan
untuk memberikan sanksi terhadap media yang membiarkan pekerja persnya menjadi
korban kekerasan atau langsung pada pelaku kekerasan.
Agus
Sudibyo (1/11), Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan
Pers menjelaskan, pihak yang harus berada di garis terdepan saat melindungi
pekerja pers adalah perusahaan persnya atau media tempat korban bekerja.
Peranan Dewan Pers hanya sebagai fasilitator, dalam bidang advokasi dan
pendanaan.
Dewan
Pers baru-baru ini mengesahkan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap
Wartawan pada Jumat 2 November lalu. Pedoman ini berisi mekanisme baku
dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan.
Pedoman penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan
Bekti
Nugroho, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers
memaparkan, kekerasan terhadap wartawan sebenarnya menjadi tanggung jawab
Komisi Hukum Dewan Pers. Namun, selama ini Dewan Pers memang belum memiliki
pedoman atau mekanisme baku dalam menangani kasus kekerasan (1/11).
Dewan
Pers sebagai organisasi teratas yang merangkul organisasi profesi wartawan
merasa perlu membuat suatu mekanisme baku dalam penanganan kasus
kekerasan. Karena, belum adanya pedoman tentang tahap-tahap dan mekanisme penanganan
masalah yang dapat menjadi rujukan bagi berbagai pihak terkait.
Pedoman
ini diharapkan dapat melengkapi ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam rangka
penyelesaian kasus-kasus pers. Pasalnya, jika terjadi kekerasan terhadap
wartawan dan bukan Dewan Pers yang menanganinya tidak ada pendanaan yang benar.
Pendanaan yang dimaksud dapat berupa asuransi jiwa untuk korban kekerasan dan
keluarganya, juga biaya-biaya lain yang digunakan untuk penyelesaian kasus.
Dalam
pedoman yang berisikan 25 poin, dijelaskan berbagai macam bentuk kekerasan,
prinsip-prinsip penanganan kasus kekerasan, dan tanggung jawab dari berbagai
organisasi pers terkait termasuk peranan perusahaan pers.
Poin 24
Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan dengan tegas menyatakan,
setiap kasus kekerasan terhadap wartawan akan diselesaikan melalui proses
hukum.
Kecekatan
para penegak hukum amat penting untuk menghindari pelaku mendapatkan impunitas
(keadaan tidak dipidana) yang menyebabkan penyelesaian kasus kekerasan terhadap
wartawan terabaikan dalam waktu yang tidak menentu.
Solidaritas media
Wahyu
menjelaskan, untuk menekan angka kekerasan terhadap wartawan diperlukan
solidaritas media. Media diharapkan dapat menekankan pemberitaan tentang
pentingnya keselamatan wartawan dan mensosialisasikan nilai-nilai kebebasan
pers pada masyarakat luas.
Bekti
juga menambahkan, di negara-negara Eropa dan Amerika tindak kekerasan terhadap
wartawan berjumlah sedikit, karena nilai-nilai kebebasan pers sudah menyatu
dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut.
Masyarakat
Indonesia sangat memerlukan tambahan wawasan tentang kemerdekaan pers dan
keselamatan wartawan, agar tidak ada lagi tindak kekerasan terhadap wartawan.
Nilai-nilai tersebut paling tepat disosialisasikan melalui media massa.
Namun,
tidak semua pemberitaan mengenai kekerasan tehadap wartawan bebas disiarkan.
Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan poin 21 menjelaskan, Media
massa perlu menghindari pemberitaan kasus kekerasan terhadap wartawan yang
dapat menghambat penanganan masalah, termasuk mempersulit proses evakuasi dan
perlindungan korban.
Tanggung
jawab perusahaan pers
Agus
Sudibyo, menuturkan, perusahaan pers adalah pihak pertama yang harus memberikan
perlindungan advokasi terhadap wartawan korban kekerasan. Sebagaimana yang
telah diatur oleh Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan poin
tujuh sampai sebelas.
Poin-poin tersebut menjelaskan peranan perusahaan pers dan
langkah-langkah litigasi (pendampingan menjalani proses hukum) dalam penanganan
kasus. Poin delapan menyebutkan tanggung jawab perusahaan pers berupa,
menanggung biaya pengobatan, evakuasi, dan proses pencarian fakta. Juga
berkoordinasi dengan organisasi profesi wartawan, Dewan Pers, dan penegak
hukum. (Nida Ilyas)