Argia tersenyum sinis saat sang ratu akan
memberikannya perhiasan. Dasar serakah, tidak hanya itu dia pun memaksa Sri
Ratu untuk memberikannya daftar nama pengikut setianya. Dengan gontai dan tanpa
apa pun, Ratu pergi meninggalkan tempat peristirahatan yang ketat itu melalui
bantuan Argia.
Dentuman granat dan suara bising tembakan
menyeruak dan hancurkan keheningan malam.
Beberapa orang bertubuh tegap lengkap dengan senapan laras panjang
berlarian sambil meneriakan, “Tangkap, tangkap, tangkap pengikut setia Sri
Ratu....”
Setelah kejadian berdarah itu keadaan kota
menjadi tegang, tentara-tentara berjaga
di setiap sentimeter jalanan kota. Sekelompok orang mencoba meninggalkan negara
yang dilanda perang itu, mereka berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Namun,
pemeriksaan dilakukan dimanapun, setiap mobil atau truk yang melintas
diberhentikan.
Di antara para pelari itu ada Argia, seorang
gadis panggilan. Secara tak sengaja, Argia menemukan Ratu yang menyamar.
Bersama Raim, kekasihnya, yang juga salah satu petugas pemeriksa, Argia
menyusun muslihat untuk memeras Ratu.
Tetapi
usaha Argia dan Raim tak sesuai rencana.
Saat mereka berkolusi untuk
memeras Ratu dengan cara meloloskannya terlebih dahulu, Argia diberikan cincin
kerajaan. Argia girang bukan kepalang.
Namun, cincin itulah yang menyeretnya memainkan peran sebagai Ratu.
Nyawanya pun terancam.
Sementara Raim yang dinaungi ketakutan
mendalam, hanya menjaga nyawanya sendiri. Dengan dalih tak mengenal Argia, dia
pergi meninggalkannya yang sedang dikerumuni warga dan tentara yang sangat
murka kepada Sri Ratu.
Begitulah, para aktor revolusi memasang
taring-taring mereka pada setiap kesempatan. Mesing-masing berambisi
memenangkan perangnya sendiri dan mencari tempat terbaik untuk diduduki. Argia
tidak menyadari permainannya sebagai Ratu sedang membawanya pada lubang
kematian. Ia terlanjur terpesona dalam kenikmatan. Akhirnya, desingan tembakan
mengiringi kepergian Argia di balik pintu.
Studio Teater Salihara menjadi saksi pemutaran
teater yang berjudul The Queen and The Rebels karya Ugo Betti yang dibawakan
oleh Saturday Acting Club (SAC) pada 2-3 Oktober lalu. SAC adalah komunitas
pecinta seni peran asal Yogyakarta.
Maria Kristina, salah satu penonton megatakan,
The Queen and The Rebels merupakan tontonan yang asik saat hati sedang tidak
karuan. Tidak hanya itu, pesan yang tersirat pada pertunjkan itu pun sangat
kena meski pada awal cerita susah untuk dipahami. “Tapi pas klimak ceritanya
lama banget, jadi bete,” ujarnya.
Sutradara SAC, Rukman Rosadi mengatakan, tema
revolusi dalam naskah ini seperti sebuah peti wayang yang dibuka untuk
memunculkan karakter-karakter yang harus memainkan peperangan yang rumit.
“Berbagai macam pikiran dan emosi tidak selalu muncul dalam wajah yang
sesungguhnya,” tuturnya.
Hasil dari drama ini, kata Rukman, adalah sikap
tidak memercayai siapapun, apa pun yang berbeda, atau pun kesetiaan anda kepada
siapa saja. Itu pikiran yang suram di tengah wajah-wajah bertopeng kebenaran.
“Kematangan perjalanan seorang aktor menjadi tolak ukur utama untuk
mengejawentahkan peran dalam sublim dan mendetail,” ucapnya. (Sayid Muarief)