Persentase penduduk muslim yang mencapai 88,1 % dari
keseluruhan penduduk Indonesia membuat bangsa ini berjuluk negara dengan
mayoritas penduduk muslim. Namun, dengan jumlah tersebut, Indonesia sebagai
negara demokrasi semestinya tidak membiarkan adanya batasan terhadap etnik,
suku, maupun ideologi tertentu untuk menjalankan kewajiban serta haknya sebagai
warga negara, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam politik.
Tetapi yang terjadi dengan dominasi jumlah penduduk
muslim yang ada, sistem demokrasi seringkali kurang memberi ruang kepada
nonmuslim dalam dunia politik, utamanya menjadi seorang pemimpin. Bahkan,
dengan basis pemilih muslim yang besar serta kecenderungan mereka memilih
pemimpin berdasarkan kesamaan ideologi, sang kompetitor muslim seringkali
memanfaatkan sentimen agama untuk memenangkan pemilihan.
Dosen Antropologi Agama UIN Jakarta, Suparto mengungkapkan, kecenderungan
sebuah komunitas memilih pemimpin berdasarkan solidaritas kesamaan agama memang
masih sangat besar di Indonesia. Hal ini terjadi lantaran secara alamiah, aspek
ideologi tersebut membuat seorang manusia memilih pemimpin yang dirasa mampu
mewakili, memenuhi, serta merealisasikan keinginanannya.
“Solidaritas ideologi mau tidak mau masih mewarnai
masyarakat Indonesia. Terlebih, saat ideologi dianggap sebagai faktor
yang memungkinkan untuk menjadi pengikat emosional dalam mendukung pemimpin
tertentu. Oleh karena itu, di Indonesia banyak orang yang memakai
sentimen-sentimen agama sebagai upaya untuk menggalang dukungan ketika
mencalonkan,” tegas Suparto.
Meskipun tingkat emosional agama masih tinggi, Suparto
menjelaskan, apabila intelektualitas masyarakat Indonesia semakin baik,
memahami pluralitas, serta mengerti cita-cita bangsa untuk
kesejahteraan bersama, maka muslim atau nonmuslim sudah tidak akan menjadi
fokus utama dalam memilih pemimpin. Sehingga, rasionalitas berdasar
kapabilitas dalam memilih otomatis akan terbentuk.
Suparto menekankan, kesewenangan pemimpin nonmuslim serta
gagalnya ia mewakili aspirasi muslim pun tidak perlu ditakutkan. Karena bila
mekanisme pemerintahan berjalan dengan baik, Indonesia sebagai negara demokrasi
justru memberikan peluang besar kepada pemerintah dan masyarakat untuk mengontrol
tindakan pemimpin tersebut.
Tidak dipungkiri bahwa kebebasan umat muslim dalam
memilih pemimpin nonmuslim masih menjadi perdebatan hebat. Hal ini mengingat
terdapat perbedaan pemahaman perintah Tuhan kepada mereka. Menurut
Suparto, pengertian secara kontekstual terhadap perintah Tuhan ini jelas
mempengaruhi tingginya tingkat emosional terhadap agama, bahkan untuk beberapa
kasus ini dijadikan alat oleh calon pemimpin untuk meraih dukungan.
Hal serupa dituturkan Mantan Dekan Fakultas Ushuludin dan
Filsafat UIN Jakarta, Amin Nurdin. Ia menuturkan, hukum mengenai pemimpin
nonmuslim ini memang sangat bergantung kepada pemahaman orang dalam menafsirkan
al-Quran. Namun ia menegaskan, berkaca pada ucapan Ali bin Abi Thalib,
lebih baik memilih pemimpin yang nonmuslim tetapi adil dan membawa perubahan
ketimbang pemimpin muslim tapi tidak berkeadilan.
Amin menambahkan, sesungguhnya tidak ada ayat yang tegas menyatakan pemimpin umat Islam itu harus orang muslim. Tetapi ia berpendapat bila ayat serta ucapan Ali bin Abi Thalib ini dapat dijadikan patokan umat muslim dalam menentukan pemimpinnya.
Amin menambahkan, sesungguhnya tidak ada ayat yang tegas menyatakan pemimpin umat Islam itu harus orang muslim. Tetapi ia berpendapat bila ayat serta ucapan Ali bin Abi Thalib ini dapat dijadikan patokan umat muslim dalam menentukan pemimpinnya.
Dalam perkataan tersebut sesungguhnya tersirat bahwa
kalangan non mulim juga memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin. Asalkan,
kriteria non muslim tersebut adalah seorang Ahl al-Kitab, yang berarti orang
tersebut masih memiliki agama, percaya adanya Tuhan dan kitabnya. Amin
menjelaskan, berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib, seorang pemimpin harus
adil dan transformatif .
Di zaman Abbasiyah pun, nonmuslim menjadi penerjemah
teks-teks Yunani untuk umat muslim. “Hal terpenting, seorang pemimpin itu harus
berpikir untuk kesejahteraan negara itu sendiri. Islam itu universal, untuk itu
dalam memilih pemimpin pun umat muslim seharusnya mempertimbangkan kredibilitas
seseorang yang juga berdasarkan kriteria universal. Seperti, kemampuan seorang
pemimpin untuk meningkatkan kesejahteraan serta keamanan,” tegas Amin.
Pemimpin dalam Kacamata Politik
Pemimpin dalam Kacamata Politik
Dalam menjalankan kepemimpinan, seorang pemimpin
semestinya memiliki kapasitas leadership. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) UIN, Burhanuddin Muhtadi menuturkan, saat ini Indonesia sedang
membutuhkan pemimpin transformatif yang mampu menginspirasi masyarakatnya,
memiliki visi intelektual serta memiliki pertimbangan yang kokoh. Dengan
begitu, pemimpin tersebut dapat menjadi sosok pemimpin ideal, terlepas dari
faktor kepercayaannya.
Dari segi politik pun sebenarnya tidak ada
perundang-undangan yang melarang nonmuslim menjadi pemimpin di negeri ini.
Burhanuddin menegaskan, dalam undang-undang (UU) pemilihan presiden ataupun
legislatif tidak terdapat limitasi kepada pemimpin nonmuslim untuk menjadi
seorang pemimpin. Dengan begitu, nonmuslim mempunyai hak yang sama dengan umat
muslim untuk memimpin.
Kesempatan nonmuslim untuk maju serta dicalonkan oleh
sebuah parpol pun terbuka lebar. Burhanuddin menjelaskan, secara
keseluruhan parpol di Indonesia itu bersifat rasional. Mereka akan
mempertimbangkan kredibilitas dan popularitas kandidat tersebut.
“Jadi, tidak masalah bagi sebuah parpol untuk mengusung
calon pemimpin nonmuslim asalkan calon tersebut mampu menunjukan popularitas,
kapabilitas, integritas, serta kredibilitas yang tinggi sehingga ia bisa diterima
oleh masyarakat,” tegas Burhanuddin.
Tetapi meski nonmuslim memiliki hak yang sama untuk
mencalonkan, Burhanuddin menegaskan, kesempatan nonmuslim untuk terpilih memang
cukup sulit, lantaran secara faktual lebih dari 88 % penduduk Indonesia itu muslim.
Terlebih, hal ini juga dipengaruhi kecenderungan pemilih Indonesia untuk
memilih pemimpin berdasarkan kesamaan identitas agama.
Burhanuddin menambahkan, sesorang dengan tingkat
pendidikan menengah ke bawah akan mempunyai kecenderungan lebih besar untuk
memilih berdasarkan kesamaan agama, kesamaan etnik, serta kesamaan
gender. Lain halnya dengan seorang yang memiliki latar belakang pendidikan
menengah ke atas, mereka akan cenderung lebih rasional dalam menentukan
pemimpin.
“Jadi dalam jangka pendek atau setidaknya sampai tahun
2014, sulit untuk pemimpin nonmuslim memenangkan pemilihan dengan skala
nasional, khususnya pemilihan taraf presiden. Ini memang fakta sosiologis yang
sepertinya sulit diterima, tetapi secara faktual, data riset maupun survei menunjukan
kecenderungan ke arah sana,” jelas Direktur Komunikasi Publik, Lembaga Survei
Indonesia tersebut.
Menurut Burhanuddin, ini bukanlah kasus pertama di negara
demokrasi. Sebelumnya, Amerika setelah 200 tahun lebih berdemokrasi juga
baru memiliki satu presiden yang beragama Katolik, yakni John F. Kennedy.
Selebihnya, presiden Amerika mayoritas beragama Kristen Protestan.
“Kecenderungan ini pun masih mencapai tahap Amerika yang pada dasarnya memiliki
tingkat intelektualitas serta pendidikan yang lebih baik,” ujarnya.
Terlepas dari kecenderungan pemilih Indonesia secara umum, Burhanuddin menegaskan, baginya dalam memilih pemimpin untuk memerintah bangsa ini ke depan, dibutuhkan rekam jejak seorang pemimpin yang baik, apapun agamanya. Dan ukuran rasional untuk seorang pemimpin ini adalah kemampuan seorang pemimpin dalam memimpin.
Terlepas dari kecenderungan pemilih Indonesia secara umum, Burhanuddin menegaskan, baginya dalam memilih pemimpin untuk memerintah bangsa ini ke depan, dibutuhkan rekam jejak seorang pemimpin yang baik, apapun agamanya. Dan ukuran rasional untuk seorang pemimpin ini adalah kemampuan seorang pemimpin dalam memimpin.
Lebih lanjut, menurutnya, hal terpenting
pemimpin tersebut punya kemampuan, kapasitas, kompetensi dan integritas
sebagai pemimpin yang baik, itu pun bisa datang dari satu agama dan agama
yang berbeda. “Kita bukan sedang memilih imam shalat, melainkan kita sedang
memilih pemimpin,” tandasnya.
Adea Fitirana