Judul: Arkeologi Pengetahuan
Penulis: Michel Foucault
Penerbit: IRCiSoD
Isi: 435 halaman
Terbit: Mei 2012
ISBN: 978-602-7640-39-9
Dewasa ini, sejarah
seringkali diartikan sebagai sebuah rangkaian peristiwa berkesinambungan yang
disusun secara kronologis. Lebih lanjut, pemaknaan tradisional juga cenderung
menafsirkan sejarah hanya sebagai kajian tentang relasi kausalitas antara
peristiwa terdahulu dengan setelahnya. Namun benarkah sejarah hanya sekumpulan
“dokumen” pembentuk hubungan sebab-akibat antar peristiwa semata?
Merujuk teori
kontinuitas atau kesinambungan dari masa ke masa, sejarah memang dianggap
sebagai sekumpulan wacana yang dilapisi peristiwa yang diam dan konstan.
Sejarah juga hanyalah penghimpun peristiwa yang menjadi acuan dan pembukti
adanya hubungan sejumlah peristiwa. Namun teori ini tidak selamanya dapat
dimaknai secara struktural. Teoritikus asal Prancis, Michel Foucault mencoba
menampiknya.
Dalam bukunya yang
berjudul Arkeologi Pengetahuan, Foucault menyatakan sejarah tidaklah
sesederhana itu. Menurutnya, dimungkinkan adanya retakan-retakan dalam
sejarah yang kadang dilupakan oleh sejarawan. Ini terjadi lantaran sejarawan
seringkali terjebak dalam pencarian hubungan kausalitas sejumlah
peristiwa.
Retakan ini yang
disebut oleh Foucault sebagai diskontinuitas dalam sejarah. Menurutnya
diskoninuitas merupakan sesuatu yang ada dalam sejarah namun ditutupi oleh
peristiwa lainnya. Oleh karena itu, menurut Foucault sejarawan tidak hanya
“bertugas” mengurutkan tahun terjadinya peristiwa, namun ia juga harus
mengungkap apa yang terselubung di dalam peristiwa tersebut.
Selubung itu
terbentuk akibat tertutupi oleh tradisi yang telah lama bercokol di masyarakat.
Sehingga dengan kentalnya tradisi yang tertanam, masyarakat tidak merasa perlu
untuk menggali sejarah lebih dalam. Bahkan selubung itu ada yang sengaja
dibentuk oleh beberapa kepentingan politik atau rezim untuk menghapus
“kecacatan” di dalamnya.
Lebih lanjut,
Foucault mencoba mengungkapkan bahwa karya sastra maupun film pun juga
berperan dalam menenggelamkan diskontinuitas. Hal ini terjadi lantaran karya
sastra dan film memiliki daya tarik yang besar untuk mengkonstruksi pemikiran
seseorang. Yang pada akhirnya, mereka tidak ingin menerima adanya
sesuatu yang bersifat baru dan menentang kebiasaan yang sudah melekat.
Karena begitu rumit
untuk membongkar selubung peristiwa itu, Foucault menganggap inilah tantangan
sejarawan dalam mengungkap kebenaran ilmu pengetahuan. Diskontinuitas sejarah
itu sangat perlu untuk diungkap agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam
menafsirkan suatu peristiwa. Untuk itu, penting bagi sejarawan menghubungkan
dokumen sejarah dengan situasi politik maupun budaya yang menjadi latar
terbuatnya dokumen tersebut.
Dengan demikian,
kebenaran sejarah dapat digali melalui kebenaran serta keaslian dokumen.
Hubungan adanya intervensi ataupun konstruksi kekuasaan atau pengaruh lain
dalam dokumen sejarah tersebut pun dapat diungkap.
Kelebihan buku
ini, memberikan pandangan baru bahwa sejarawan harus lebih “teliti” dalam
mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang tak terungkap. Secara berkesinambungan
dari bab ke bab, ia memberi penjelasan konsep-konsep diskontinuitas dan
bagaimana sejarah dapat dan perlu ditilik hingga akar-akarnya.
Pembahasannya yang
mendalam kiranya mampu memuaskan dahaga para skeptis dan pecinta postmodernis
untuk membedah dan menemukan manfaat yang tertuang dalam buku ini.
Namun, ibarat dua
sisi mata uang, karya Foucault ini juga memiliki sisi kekurangan disamping
kelebihannya. Buku ini cenderung memiliki gaya bahasa yang sulit untuk dipahami
oleh masyarakat awam. (Adea Fitriana)