Produksi pangan di Indonesia masih banyak mengandalkan produksi
dari luar negeri. Akibatnya, produksi pangan buatan lokal menjadi kurang
diperhatikan, sehingga produk pangan luar negeri menjadi incaran bagi
masyarakat Indonesia.
Dalam hal ini, upaya pemerintah untuk meningkatkan keuangan
negara dapat dimulai melalui produksi pangan, namun hal tersebut belum
dilakukan secara maksimal. Produksi pangan dapat terpenuhi apabila pemerintah
dapat menyejahterakan penghasilan petani.
Hal itu diungkapkan dalam seminar yang bertema “Peranan
Tekhnologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Finansi Ekonomi Desa” oleh
Direktur Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Edi
Muhtadi. Seminar tersebut bertempat di Fakultas Ekonomi Universitas Budi Luhur
Jakarta, Sabtu (6/10).
Menanggapi hal itu, mahasiswa Fakultas Ekonomi, Devi Kristianti
menjelaskan, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia dan
alam yang melimpah sehingga dapat meningkatkan keuangan negara.
Namun, menurut Edi, jika melihat mekanisme pasar di
Indonesia—produksi hasil pertanian saat ini—masih banyak produksi luar negeri
yang memenuhi pasar Indonesia, termasuk beras yang masih di impor dari
Thailand.
Ia menambahkan, kemudahan produksi luar negeri yang masuk ke
Indonesia, menjadi salah satu pemicunya. Seharusnya, pemerintah dapat
melindungi dan menyejahterakan produk petani dengan mengekspor barang
produksinya untuk diurusi negara. “Konsumsi pangan dunia dipenuhi oleh Asia
Tenggara,” tambahnya.
Kendati demikian, meski produksi Indonesia tidak diekspor, masih
banyak masyarakat Indonesia membutuhkan hasil pertanian dalam negeri. Dalam hal
ini, Indonesia memiliki tanah yang subur dan sumber daya manusia yang mampu
mengurusinya sehingga, dapat memenuhi pasar dalam negeri.
Ia menuturkan, pemerintah dapat mengelola transaksi petani antar
daerah dengan mengontrol harga pokok. Pihak mereka juga dapat meningkatkan
kesejahteraan ekonomi petani desa dengan membayar hasil produksinya melalui
pemotongan anggaran daerah yang diberikan setiap tahunnya.
Bagi Edi, perlu diadakan kesepakatan bersama untuk
mencapai keberhasilan, seperti petani disejahterakan dari hasil penjualannya
dan sebagai timbal baliknya petani dapat meningkatkan mutu hasil pertaniannya.
Tak hanya itu, pemerintah dapat membuat perjanjian kepada
perusahaan pembeli. Seperti, dengan membayar hasil produksi petani melalui
jaminan pengembalian jika hasil produksi tidak sesuai. “Dengan begitu Indonesia
tidak akan mengalami krisis keuangan,” imbuhnya.
Ia mengatakan, jika produksi pertanian Indonesia berkembang di
dalam negeri, hal itu dapat mempengaruhi produksi lain, seperti produksi
industri, produksi ternak, dan konsumen tersebut yang dapat membentuk lingkaran
perekonomian.
Dalam hal ini,
terdapat kerangka Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN) yang berisikan
tentang kebijakan transfer daerah. Dalam hal ini, daerah dapat melakukan
pekerjaannya sendiri, sehingga pemerintah membagikan sebagian penghasilannya
kepada daerah dalam bentuk macam-macam dana bantuan, dana otonomi, dan
infrastruktur. (Gita Nawangsari)