Di
Indonesia, membaca masih tergolong kegiatan yang sukar dibudayakan. Terlihat
dari hasil survei UNESCO tahun 2011 lalu, Indonesia menduduki
posisi ke-84 dari 85 negara dalam hal minat baca. Tentu ini merupakan problem yang
harus segera diselesaikan oleh bangsa berideologi Pancasila.
Hal tersebut diutarakan Ketua
Masyarakat Gemar Membaca (Magma) Herlina Mustikasari, Jumat (12/10).
“Memasyarakatkan gemar membaca bisa menjadi solusi alternatif untuk
menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia,” tambahnya.
Menurut
Herlina, masyarakat Indonesia perlu merekonstruksi budaya membaca agar dapat
menekan jumlah penderita buta aksara yang kini masih terbilang cukup tinggi.
Selama
ini, para penderita buta aksara dan aksarawan baru belum mendapatkan tempat
untuk berlatih membaca. Oleh karena itu, Magma didirikan untuk dapat
memfasilitasi mereka yang belum atau baru melek huruf. “Sekitar 6,7 juta
penduduk Indonesia masih buta aksara,” cetusnya.
Awalnya,
Magma didirikan oleh Kementerian Pendidikan sebagai taman baca masyarakat
(TBM). TBM ini hadir sebagai bentuk kecil dari perpustakaan yang sifatnya
swadaya dan pendekatannya lebih kekeluargaan. “Perpustakaan itu formal, tapi
kalau TBM lebih santai,” katanya.
Dalam
perkembangannya, TBM juga dijadikan sebagai wadah untuk mengadakan kegiatan
sosialisasi buku kepada masyarakat. Salah satu sosialisasinya dengan mengadakan
kegiatan bedah buku populer, resep, dan jenis lain yang bisa dipraktikkan
langsung oleh masyarakat dan pastinya dapat meningkatkan pemberdayaan
manusia. “Apalagi TBM Magma banyak tersebar di area perkampungan,” ucap
Herlina.
Menurutnya,
komunitas yang bertempat di Kota Pamulang ini cukup mendapat respon positif
dari masyarakat. Indikasinya, banyak masyarakat yang sudah mengetahui apa itu
TBM dan pentingnya membaca. Karenanya, tak sedikit di antara mereka yang
menawarkan tempatnya untuk dijadikan TBM.
“TBM itu
sifatnya sukarela. Baik dari pengadaan tempat, pengelolaan, hingga pembayaran
listrik. Semua relawan yang terlibat dalam Magma pun tak mendapatkan gaji,”
tegasnya.
Dalam
perjalanannya, Herlina menjelaskan, TBM hadir sebagai alternatif bagi
masyarakat di tengah derasnya arus teknologi. Terlebih bagi anak-anak yang kini
terlihat cenderung datang ke warung internet ketimbang TBM. Tentu, hal
tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Magma.
Kini,
komunitas yang berdiri sejak Januari 2010 ini sudah mendirikan 32 TBM,
ditambah 10 TBM dari hasil kerjasama komunitas lain dengan Magma. Ini
menunjukan bagaimana apresiasi dan antusiasme masyarakat terhadap membaca mulai
meningkat.
Sementara
itu, Wakil Ketua Magma Muhammad Zainussoleh mengatakan, mengajak masyarakat
untuk gemar membaca itu gampang-gampang susah. “Apalagi, hanya dengan cara
membuka TBM. Paling juga tiga orang yang baca,” lirihnya berkata.
Untuk
itu, ia menyiasatinya dengan berbagai cara. Salah satunya seperti membaca
teori, kemudian diiringi langsung dengan praktik. Metode seperti inilah yang
sebenarnya lebih disukai, bahkan tergolong efektif jika diterapkan di lingkungan
masyarakat yang kurang berminat membaca.
Terkait
peminjaman buku, ia menjelaskan, Magma masih menggunakan sistem pelayanan
terbuka. Akan tetapi, beberapa TBM sudah menerapkan sistem peminjaman buku yang
bisa dibawa pulang. “Regulasi peminjaman masih dalam perumusan,” ucap pria yang
akrab dipanggil Zainal itu.
Magma sendiri beroperasi setiap hari, pukul 09.00-16.00 WIB.
Sedangkan waktu operasional TBM tergolong kondisional, tergantung pengelolanya
masing-masing. (Muawwan Daelami)